Hakikat Manusia
Manusia menurut Allah adalah makhluk yang diciptakan Allah
SWT dari tanah liat kering dan diberikan ruh ke dalam jasad manusia ini dan
makhluk yang dimuliakan atas segala ciptaanNya.Allah telah menurunkan Al Qur’an
yang diantara ayat-ayatNya adalah gambaran tentang manusia. Berbagai istilah
digunakan untuk menunjukkan aspek kehidupan manusia, diantaranya:
Dari aspek historis, disebut dengan Bani Adam
“Hai bani Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) masjid makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Seunguhnya
Allah tidak menyukai orang – orang yang berlebih – lebihan”(QS 7:31)
Dari aspek biologis, disebut dengan Basyar “Dan berkatalah
pemuka – pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui
hari akhirat(kelak) dan yang telah (Kami mewahkan mereka dalam kehidupan
dunia)(orang) ini tidak lain hanyalah manusia (basyar) seperti kamu, dia makan
dari apa yang kamu makan dan minum dari apa yang kamu minum”(QS 23:24)
Dari aspek kecerdasan, disebut dengan Insan “Dia menciptakan
manusia (insan).mengajarnya pandai berbicara”(QS 55:3-4)
Dari aspek sosiologis, disebut dengan An-Nas “Wahai
manusia(nas) sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang – orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa”(QS 2:21)
Dari aspek posisinya, disebut dengan Hamba “Maka apakah
mereka tidak melihat langit dan bumi yang ada di hadapan dan di belakang
mereka?jika Kami menghendaki niscaya Kami benamkan mereka di bumi atau Kami
jatuhkan mereka gumpalan dari langit. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar
– benar terdapat tanda ( kekuasaan Tuhan) bagi setiap hamba yang kembali
kepadanya”(QS 34:9)
Hakikat islam dengan cerdas
Cerdas dan pandai. Dalam menginginkan pemeluknva cerdas
serta pandai. Itulah ciri akal yang berkembang secara sempurna. Cerdas ditandai
oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan
pandai ditandai oleh banyak memiliki pengetahuan, jadi banyak memiliki
informasi. Salah satu ciri Muslim yang sempurna ialah cerdas serta pandai. Kecerdasan
dan kepandaian itu dapat ditilik melalui indikator-indikator sebagai berikut
ini.
Perlunya ciri akliah dimiliki oleh Muslim dapat diketahui
dari ayat-ayat al-Quran serta hadis Nabi Muhammad saw. Ayat dan hadis itu
biasanya diungkapkan dalam bentuk perintah agar belajar dan ada perintah
menggunakan indera dan akal, atau pujian kepada mereka yang menggunakan indera
dan akalnya. Sebagian kecil dari ayat al-Quran dan hadis tersebut dituliskan
berikut ini yang artinya,
“Katakanlah, samakah antara orang yang mengetahui dan orang
yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran”.(Az-Zumar:9)
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya
adalah ulama.”(Al-Fathir:28)
“Dan perumpamaan ini Kami buat untuk manusia, tidak mungkin
dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al-Ankabut: 43)
Ayat-ayat di atas jelas menunjukkan pentingnya ilmu
(pengetahuan) dimiliki orang Islam, pentingnya berpikir, dan pentingnya
belajar.
Nabi Muhammad SAW. menyatakan bahwa pengetahuan dapat
diperoleh dengan cara belajar. Jadi, kalau begitu orang Islam diperintah agar
belajar. Seperti Surat al-‘Alaq ayat 1 yang mengandung pengertian bahwa orang
Islam seharusnya dapat membaca. Ayat ini juga mengandung perintah agar orang Islam
belajar karena pada umumnya kemampuan membaca itu diperoleh dari belajar. Dalam
al-Quran surat al-Nahl ayat 43 Tuhan menyuruh orang Islam bertanya jika ia
tidak tahu. Ini dapat diartikan sebagai suruhan belajar.
Jadi, jelaslah bahwa Islam menghendaki agar orang Islam
berpengetahuan. Ini adalah salah satu ciri akal yang berkembang baik. Akal yang
berkembang baik itu berisi banyak pengetahuan sains, filsafat, serta mampu
menyelesaikan masalah secara ilmiah dan atau filosofis. Akal yang cerdas adalah
karunia Tuhan. Indikatornva ialah kecerdasan umum (IQ).. Kecerdasan itu, selain
ditentukan oleh Tuhan, juga berkaitan dengan keturunan. Kesehatan jiwa dan
fisik jelas berkaitan pula dengan kecerdasan tersebut. Kalau begitu, kesehatan
dan kekuatan seperti yang telah diuraikan sebelum ini memang berkaitan juga
dengan tingkat kecerdasan.
Hakikat islam dengan toleran
Hakekat Toleransi Dalam Islam
Untuk memahami hakikat toleransi dalam Islam, maka
sebagaimana dijelas di atas bahwa Islam adalah agama yang samahah (murah) dan
suhulah (mudah dan gampang), tetapi bukan dimudah-mudahkan.
Untuk lebih jelasnya, toleransi dalam Islam bias kita bagi
kepada dua bagian:
1. Toleransi
Internal Kaum Muslimin
Maksud dari toleransi internal kaum muslimin adalah bahwa
syariat Islam telah memberikan kelonggaran (rukhshah) dan taysir (kemudahan)
atas individu kaum muslimin terhadap beberapa perkara yang telah disyari’atkan.
Sebagai contoh misalnya dalam masalah badah, Islam bersifat
toleran. Maksudnya, pelaksanaan ibadah di dalam Islam bersifat tidak membebani.
Hal tersebut bisa kita lihat ketika seseorang ingin berwudhu dan tidak ada air,
maka Islam mempermudah cara berwudhu dengan cara tayamum. Di dalam shalat,
ketika seseorang tidak mampu berdiri, maka boleh dengan duduk. Begitu juga
puasa, ketika seseorang sedang sakit, maka boleh di qadha pada hari-hari di
luar Ramadhan. Sifat mempermudah dan tidak membebankan seseorang inilah yang
menjadi ciri khas bahwa Islam adalah agama yang toleran dari segi ibadah.
Juga dalam beberapa perkara furu’ yang masih dalam ranah
perbedaan ijtihadiyah, Islam juga memberikan kelonggaran kepada kaum muslimin
untuk mengamalkan sesuai dengan pendapat yang rajih menurut keyakinannya,
tentunya berdasarkan ilmu dan manhaj yang benar.
Ibnu Wahab menceritakan dari Qasim, ia berkata: Bahwa Qasim
pernah berkata: Aku kagum akan perkataan Umar bin Abdul ‘Azis, “Aku tidak suka
jika para sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berselisih
pendapat. Sebab jika mereka dalam satu pendapat niscaya manusia akan mengalami
kesempitan. Mereka adalah Imam yang patut diteladani. Jika seseorang mengikuti
salah seorang dari mereka maka ia berada dalam keleluasaan.”
Artinya, dengan perbedaan pendapat itu mereka (para
shahabat) memberikan kita kesempatan memilih pendapat dan ijtihad mereka. Itu
karena ijtihad dibenarkan dan perbedaan pendapat merupakan suatu kemestian.
Masing-masing muslim dipersilahkan beramal sesuai dengan dalil dan pemahaman
yang dilihatnya lebih kuat. Inilah makna “keleluasaan dan rahmat” yang dimaksud
di atas. Tidak berarti bahwa semua pendapat -kendatipun saling bertentangan-
benar. Kebenaran hanya ada pada salah satu diantaranya, tetapi semua pendapat
itu terpuji dan diberi pahala.
Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian melapangkan
umat ini dengan adanya perbedaan pendapat menyangkut masalah-masalah furu’iah
dikalangan mereka. Hal ini membuka pintu bagi umat untuk masuk ke dalam rahmat.
Perkara ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal. Apa
yang diharamkan-Nya adalah haram, dan apa yang didiamkannya merupakan kemurahan
Allah. Maka terimalkah kemurahan-Nya. Sesungguhnya Allah tidak pernah lupa akan
sesuatu.” Kemudian Nabi membaca firman Allah: “Dan tidaklah Rabb-mu lupa”(QS.
Maryam: 64). (HR. Al-Hakim dan dinyatakan shahih oleh Adz-Dzahabi)
Al-‘Afwu (kemurahan) di sini berarti rahmat sebagaimana
dalam Hadits disebukan, “Perbedaan umatku adalah rahmat”. Semuanya menunjukkan
bahwa Allah mendiamkan sesuatu adalah untuk memberikan keluasan dan kemudahan
kepada umat. Arti “mendiamkan sesuatu hukum” ini adalah:
Mendiamkan nash tentang sebagian hukum dan menyerahkannya
kepada akal seorang muslim untuk berijtihad dalam memahaminya dengan merujuk hukum-hukum
yang telah ditegaskan oleh nash.
Menegaskan suatu hukum dalam suatu nash yang fleksibel
sehingga mencakup beberapa kemungkinan pemahaman serta beraneka ragam pendapat
dan ijtihad.
Oleh sebab itu para shahabat melakukan ijtihad dan berbeda
pendapat mengenai banyak masalah yang bersifat jilid’iyah dengan tidak
bersempit dada.
Adapun berkaitan dengan perkara ushul (perkara yang tidak
ada tempat ijtihad di dalamnya) maka Islam tidak memberikan toleransi
sedikitpun jika ia bertentangan nash Al-Qur`an dan As-Sunnah serta pemahama
ulama salaf.
No comments:
Post a Comment