MAKALAH
DAMPAK
KORUPSI
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Konservasi
Dosen
pembimbing: Dr. Ali sunarso, M.Pd
Disusun
oleh:
Kelompok
8
1.
Mohamad Yusuf (1401418263)
2.
Herdiana Ayu Mahardika (1401418290)
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Taala atas berkat dan
karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Dampak
korupsi” sebagai tugas Mata Kuliahpendidikan konservasia Semester Genap
tahun 2018/ 2019.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penyusun dalam penyusunan makalah ini, yaitu:
1.
Allah Subhanahu Wa
Taala yang senantiasa memberi kemudahan penyusunan makalah ini.
2.
Dr. Ali Sunarso, M.Pd selaku dosen pembimbing Keterampilan Berbahasa dan Bersastra Indonesia yang telah
membimbing penyusun dalam menyusun makalah ini.
3.
Teman-teman yang selalu memberikan dukungan
demi terselesaikannya tugas ini.
4.
Pihak-pihak yang telah
membantu penyusun dalam menyusun makalah ini yang tidak dapat penyusun sebutkan
satu persatu.
Makalah ini
diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai
dampak korupsi. Penyusun
telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya, namun tentu makalah ini belum
sempurna. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun dan bermanfaat bagi penyusun.
Semarang, April
2019
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………....…i
DAFTAR ISI………………………………………………………………...……...ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................5
1.3 Tujuan Makalah..............................................................................................6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dampak
Korupsi terhadap Perekonomian.....................................................7
B.
Dampak Korupsi
terhadap Pendidikan….......................................................12
C.
Dampak korupsi terhadap kehidupan sosial
dan kemanusiaan……………..15
D.
Dampak korupsi terhadap politik dan
demokrasi…………………………...17
E.
Dampak korupsi terhadap pertahanan dan
keamanan……………………….18
F.
Dampak korupsi terhadap penegakan
hukum……………………………….19
G.
Dampak korupsi terhadap kerusakan
lingkungan…………………………...21
H.
Dampak korupsi terhadap penegakan
hukum………………………….........26
I.
Dampak korupsi terhadap kerusakan
lingkungan…………………………...28
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................................................30
3.2 Saran……………………………………………………………………..…..31
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................31
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Korupsi
di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap
lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap
orde yang datang silih berganti. Hampir semua segi kehidupan
terjangkit korupsi. Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi
dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor
eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari
luar. Faktor internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan,
kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif
dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk
berperilaku korup. Faktor eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi
misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya
instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan,
aspek managemen & organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan
transparansi, aspek hukum, terlihat dalam buruknya wujud
perundang-undangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial yaitu
lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti korupsi.
Kemajuan
suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam
melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang
direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan
keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya
manusia, yakni (orang-orang yang terlibatsejak dari perencanaan samapai pada
pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantaradua faktor tersebut yang paling dominan
adalah faktor manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia
dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya,
negaratercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah
merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin.Mengapa
demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya
manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau
intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.
Bentuk
perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh
wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu,
sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya
adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin
maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas
korupsi,atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir yang paling
rendahmaka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya
dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena korupsi
membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke jurang
kehancuran.Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
dampak korupsi bagi perekonomian?
2. Apa
dampak korupsi terhadap pendidikan?
3. Apa
dampak korupsi terhadap kehidupan sosial dan kemanusiaan?
4. Apa
dampak korupsi terhadap politik dan demokrasi?
5. Apa
dampak korupsi terhadap pertahanan dan keamanan?
6. Apa
dampak korupsi terhadap penegakan hukum?
7. Apa
dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan?
8. Apa
dampak korupsi terhadap penegakan hukum?
9. Apa
dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan?
C. Tujuan
1. Dapat
memahami dampak korupsi bagi perekonomian.
2. Dapat
memahami dampak korupsi terhadap pendidikan.
3. Dapat
memahami dampak korupsi terhadap kehidupan sosial dan kemanusiaan.
4. Dapat
memahami dampak korupsi terhadap politik dan demokrasi.
5. Dapat
memahami dampak korupsi terhadap pertahanan dan keamanan.
6. Dapat
memahami dampak korupsi terhadap penegakan hukum.
7. Dapat
memaham dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan.
8. Dapat
memaham dampak korupsi terhadap penegakan hukum.
9. Dapat
memaham dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Dampak Korupsi terhadap Perekonomian
Korupsi
mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam bentuk
peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika kebijakan
dilakukan dalam pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan dan
kebijakan, misalnya, pada perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan
sebagainya, malah akan mendorong terjadinya inefisiensi. Korupsi mendistorsi
insentif seseorang, dan seharusnya melakukan kegiatan yang produktif menjadi
keinginan untuk merealisasikan peluang korupsi dan pada akhimya menyumbangkan
negatif value added. Korupsi menjadi bagian dari welfare cost memperbesar biaya
produksi, dan selanjutnya memperbesar biaya yang harus dibayar oleh konsumen
dan masyarakat (dalam kasus pajak), sehingga secara keseluruhan berakibat pada
kesejahteraan masyarakat yang turun.
Korupsi
mereduksi peran pundamental pemerintah (misalnya pada penerapan dan pembuatan
kontrak, proteksi, pemberian property rights dan sebagainya). Pada akhirnya hal
ini akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi yang dicapai.
Korupsi
mengurangi legitimasi dari peran pasar pada perekonomian, dan juga proses
demokrasi. Kasus seperti ini sangat terlihat pada negara yang sedang mengalami
masa transisi, baik dari tipe perekonomian yang sentralistik ke perekonomian
yang lebih terbuka atau pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih
demokratis, sebagaimana terjadi dalam kasus Indonesia.
Korupsi
memperbesar angka kemiskinan. ini sangat wajar. Selain dikarenakan
program-program pemerintah sebagaimana disebut di atas tidak mencapai sasaran,
korupsi juga mengurangi potensi pendapatan yang mungkin diterima oleh si
miskin. Menurut Tanzi (2002), perusahaan perusahaan kecil adalah pihak yang
paling sering menjadi sasaran korupsi dalam bentuk pungutan tak resmi (pungutan
liar). Bahkan, pungutan tak resmi ini bisa mencapai hampir dua puluh persen
dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan ini amat
mengkhawatirkan, dikarenakan pada negara negara berkembang seperti Indonesia,
perusahaan kecil (UKM adalah mesin pertumbuhan karena perannya yang banyak
menycrap tenaga kerja).
Korupsi
memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction
effects) terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan negara, khususnya dalam
sisi ekonomi sebagai pendorong utama kesejahteraan masyarakat. Mauro
menerangkan hubungan antara korupsi dan ekonomi. Menurutnya korupsi memiliki
korelasi negatif dengan tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan dengan
pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan kesejahteraan. Hal ini
merupakan bagian dari inti ekonomi makro. Kenyataan bahwa korupsi memiliki
hubungan langsung dengan hal ini mendorong pemerintah berupaya menanggulangi
korupsi, baik secara preventif, represif maupun kuratif.
Di
sisi lain meningkatnya korupsi berakibat pada meningkatnya biaya barang dan
jasa, yang kemudian bisa melonjakkan utang negara. Pada keadaan ini,
inefisiensi terjadi, yaitu ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak
kebijakan namun disertai dengan maraknya praktek korupsi, bukannya memberikan
nilai positif misalnya perbaikan kondisi yang semakin tertata, namun justru
memberikan negatif value added bagi perekonomian secara umum.
Misalnya, anggaran perusahaan yang sebaiknya diputar dalam perputaran ekonomi,
justru dialokasikan untuk birokrasi yang ujung-ujungnya terbuang masuk ke
kantong pribadi pejabat.
Berbagai
macam permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah apabila korupsi
sudah merajalela dan berikut ini adalah hasil dari dampak ekonomi yang akan
terjadi, yaitu:
1.
Lesunya Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi
Korupsi
bertanggung jawab terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi dalam
negeri. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi
dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan
ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam
negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena
penyelidikan.
Penanaman
modal yang dilakukan oleh pihak dalam negeri (PMDN) dan asing (PMA) yang
semestinya bisa digunakan untuk pembangunan negara menjadi sulit sekali
terlaksana, karena permasalahan kepercayaan dan kepastian hukum dalam melakukan
investasi, selain masalah stabilitas. Dari laporan yang diberikan oleh PERC
(Political and Economic Risk Consultancy) pada akhirnya hal ini akan
menyulitkan pertumbuhan investasi di Indonesia, khususnya investasi asing
karena iklim yang ada tidak kondusif. Hal ini jelas karena terjadinya tindak
korupsi yang sampai tingkat mengkhawatirkan yang secara langsung maupun tidak
mengakibatkan ketidakpercayaan dan ketakutan pihak investor asing untuk
menanamkan investasinya ke Indonesia.
Kondisi
negara yang korup akan membuat pengusaha multinasional meninggalkannya, karena
investasi di negara yang korup akan merugikan dirinya karena memiliki ‘biaya
siluman’ yang tinggi. Dalam studinya, Paulo Mauro mengungkapkan dampak korupsi
pada pertumbuhan investasi dan belanja pemerintah bahwa korupsi secara langsung
dan tidak langsung adalah penghambat pertumbuhan investasi. Berbagai organisasi
ekonomi dan pengusaha asing di seluruh dunia menyadari bahwa suburnya korupsi
di suatu negara adalah ancaman serius bagi investasi yang ditanam.
2.
Penurunan Produktifitas
Dengan
semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi, maka tidak dapat disanggah
lagi, bahwa produktifitas akan semakin menurun. Hal ini terjadi seiring dengan
terhambatnya sektor industri dan produksi untuk bisa berkembang lebih baik atau
melakukan pengembangan kapasitas. Penurunan produktifitas ini juga akan
menyebabkan permasalahan yang lain, seperti tingginya angka PHK dan
meningkatnya angka pengangguran. Ujung dari penurunan produktifitas ini adalah
kemiskinan masyarakat.
3.
Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa Bagi Publik
Ini
adalah sepenggal kisah sedih yang dialami masyarakat kita yang tidak perlu
terjadi apabila kualitas jalan raya baik sehingga tidak membahayakan pengendara
yang melintasinya. Hal ini mungkin juga tidak terjadi apabila tersedia sarana
angkutan umum yang baik, manusiawi dan terjangkau. Ironinya pemerintah dan
departemen yang bersangkutan tidak merasa bersalah dengan kondisi yang ada,
selalu berkelit bahwa mereka telah bekerja sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan.
Rusaknya
jalan-jalan, ambruknya jembatan, tergulingnya kereta api, beras murah yang
tidak layak makan, tabung gas yang meledak, bahan bakar yang merusak kendaraan
masyarakat, tidak layak dan tidak nyamannya angkutan umum, ambruknya bangunan
sekolah, merupakan serangkaian kenyataan rendahnya kualitas barang dan jasa
sebagai akibat korupsi. Korupsi menimbulkan berbagai kekacauan di dalam sektor
publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek lain yang mana
sogokan dan upah tersedia lebih banyak.
Pejabat
birokrasi yang korup akan menambah kompleksitas proyek tersebut untuk
menyembunyikan berbagai praktek korupsi yang terjadi. Pada akhirnya korupsi
berakibat menurunkan kualitas barang dan jasa bagi publik dengan cara
mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, syarat-syarat material
dan produksi, syarat-syarat kesehatan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan
lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur
dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
4.
Menurunnya Pendapatan Negara Dari Sektor Pajak
Sebagian
besar negara di dunia ini mempunyai sistem pajak yang menjadi perangkat penting
untuk membiayai pengeluaran pemerintahnya dalam menyediakan barang dan jasa
publik, sehingga boleh dikatakan bahwa pajak adalah sesuatu yang penting bagi
negara. Di Indonesia, dikenal beberapa jenis pajak seperti Pajak penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Meterai (BM), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).
Pajak
berfungsi sebagai stabilisasi harga sehingga dapat digunakan untuk
mengendalikan inflasi, di sisi lain pajak juga mempunyai fungsi redistribusi
pendapatan, di mana pajak yang dipungut oleh negara selanjutnya akan digunakan
untuk pembangunan, dan pembukaan kesempatan kerja yang pada akhirnya akan
menyejahterakan masyarakat. Pajak sangat penting bagi kelangsungan pembangunan
negara dan kesejahteraan masyarakat juga pada akhirnya.
Kondisi
penurunan pendapatan dari sektor pajak diperparah dengan kenyataan bahwa banyak
sekali pegawai dan pejabat pajak yang bermain untuk mendapatkan keuntungan
pribadi dan memperkaya diri sendiri. Kita tidak bisa membayangkan apabila
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pajak ini berlangsung lama, tentunya akan
berakibat juga pada percepatan pembangunan, yang rugi juga masyarakat sendiri,
inilah letak ketidakadilan tersebut.
Kerugian
finansial jelas menjadi salah satu dampak dari prilaku korup para pemegang
jabatan publik dalam dunia pendidikan. Walau jika dilihat secara oknum
nominalnya tidak besar sehingga tidak dapat di tindak dengan KPK tetapi jika
diakumulasikan maka akan muncul jumlah yang sangat besar. Hal ini harusnya
mendapat perhatian khusu dari aparat penegak hukum dalam tipikor
selain KPK yaitu Polisi dan Jaksa untuk mampu menyeret para koruptor dalam
bdaing pendidikan.
Dengan
Anggaran 20% dari APBN dan APBD dan dana yang besar itu dipecah menjadi
bagian-bagian kecil lalu bagian-bagian kecil itu ternayata dikorupsi maka
kerugian finansia akan langsung terasa kepada negara.
Selain
itu kerugian finansial akan juga berdampak kepada masyarakat umum dengan
pungutan-pungutan liar yang terjadi disekolah. Walau dari tiap orang tua
nominalnya kecil tetapi bila dijumlahkan maka akan menjadi nominal yang
cukup besar. Sebagai contoh 1 orang siswa dipungli Rp.10.000 dikali jumlah
seluruh siswa yang ada disekolah tersebut contoh 1000 siswa maka 10.0000 x 1000
maka terkumpul dana Rp 10.000.000 dan dikalikan semua sekolah yang ada di
Indonesia maka akan terakumulasi jumlah dana yang sangat besar.
5.
Meningkatnya Hutang Negara
Kondisi
perekonomian dunia yang mengalami resesi dan hampir melanda semua negara
termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, memaksa negara-negara
tersebut untuk melakukan hutang untuk mendorong perekonomiannya yang sedang
melambat karena resesi dan menutup biaya anggaran yang defisit, atau untuk
membangun infrastruktur penting. Bagaimana dengan hutang Indonesia?
Korupsi
yang terjadi di Indonesia akan meningkatkan hutang luar negeri yang semakin
besar. Dari data yang diambil dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutang,
Kementerian Keuangan RI, disebutkan bahwa total hutang pemerintah per 31 Mei
2011 mencapai US$201,07 miliar atau setara dengan Rp. 1.716,56 trilliun, sebuah
angka yang fantastis. Hutang tersebut terbagi atas dua sumber, yaitu pinjaman
sebesar US$69,03 miliar (pinjaman luar negeri US$68,97 miliar) dan Surat
Berharga Negara (SBN) sebesar US$132,05 miliar. Berdasarkan jenis mata uang,
utang sebesar US$201,1 miliar tersebut terbagi atas Rp956 triliun, US$42,4
miliar, 2.679,5 miliar Yen dan 5,3 miliar Euro. Posisi utang pemerintah terus
meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009, jumlah utang yang dibukukan
pemerintah sebesar US$169,22 miliar (Rp1.590,66 triliun). Tahun 2010, jumlahnya
kembali naik hingga mencapai US$186,50 miliar (Rp1.676,85
triliun). Posisi utang pemerintah saat ini juga naik dari posisi per
April 2011 yang sebesar US$197,97 miliar. Jika menggunakan PDB Indonesia yang
sebesar Rp6.422,9 triliun, maka rasio utang Indonesia tercatat sebesar 26%.
Sementara
untuk utang swasta, data Bank Indonesia (BI) menunjukkan jumlah nilai utang
pihak swasta naik pesat dari US$73,606 miliar pada 2009 ke posisi US$84,722
miliar pada kuartal I 2011 atau setara 15,1%. Secara year on year (yoy) saja,
pinjaman luar negeri swasta telah meningkat 12,6% atau naik dari
US$75,207 pada kuartal I 2010. Dari total utang pada tiga bulan pertama tahun
ini, utang luar negeri swasta mayoritas disumbang oleh pihak non-bank sebesar
US$71,667 miliar dan pihak bank sebesar US$13,055 miliar (www.metronews.com
/read/news/ 2011,14 Juni 2011).
Bila
melihat kondisi secara umum, hutang adalah hal yang biasa, asal digunakan untuk
kegiatan yang produktif hutang dapat dikembalikan. Apabila hutang digunakan
untuk menutup defisit yang terjadi, hal ini akan semakin memperburuk keadaan.
Kita tidak bisa membayangkan ke depan apa yang terjadi apabila hutang negara
yang kian membengkak ini digunakan untuk sesuatu yang sama sekali tidak
produktif dan dikorupsi secara besar-besaran.
B. Dampak Korupsi terhadap Pendidikan
Pendidikan
merupakan hak asasi individu yang telah diamanahkan dalam berbagai perundangan.
Untuk itu pemerintah telah menggariskan bahwa 20% anggaran dialokasikan untuk
pembangunan pendidikan. Melalui besamya dukungan anggaran tersebut, diharapkan
pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik, namun, harapan tersebut masih belum
terwujud sepenuhnya. Sebagian masyarakat, khususnya kelompok miskin masih
dihadapkan pada persoalan akses terhadap pendidikan. Adanya kebocoran anggaran
di sektor pendidikan merupakan salah satu sebab kurang maksimalnya layanan
pendidikan terhadap kelompok miskin. Tulisan ini bertujuan mendiskusikan
pencapaian pembangunan pendidikan dan permasalahannY.a serta bagaimana korupsi
di sektor pendidikan berimplikasi terhadap pembangunan pendidikan. Meskipun
dalam realitasnya, institusi pendidikan tidak terlepas dari persoalan korupsi,
namun lembaga ini rnerupakan media strategis untuk menanamkan nilai - nilai
moral tennasuk antikorupsi. Siswa yang akan menjadi generasi penerus bangsa di
masa mendatang sejak dini harus dididik untuk menjauhi dan memerangi praktek
korupsi. Untuk itu substansi pendidikan antikorupsi perlu diberikan pada siswa
sejak dini. Selain itu perbaikan tata kelola di sektor pendidikan perlu
dilakukan dengan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya guna mendorong
tranparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran dan perumusan
kebijakan pendidikan sehingga dapat menghindari penyimpangan dan penyelewengan
pada anggaran pendidikan.
Pencapaian
pembangunan pendidikan di Indonesia, diantaranya berkaitan dengan tiga pilar
pembangunan pendidikan, sesuai dengan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional) 2004-2009 yaitu 1) perluasan dan pemerataan akses
pendidikan; 2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan; 3)
penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik
pendidikan. Ketiga pilar tersebut diharapkan dapat menghasilkan
pendidikan bermutu, akuntabel, murah, merata, dan terjangkau oleh raky~t
banyak. Pilar pertama perluasan dan pemerataan akses
pendidikan diukur dari indikator angka partisipasi mumi dan kasar (APM
danAPK) di tingkat SO dan yang sederajat sampai perguruan tinggi.
Indikator lain adalah jumlah penduduk kurang dari 15 tahun yang buta aksara. Sedangkan pemerataan akses pendidikan diuk:ur dari
disparitas angka partisipasi di tingkat SO sederajat sampai perguruan tinggi
antara kabupaten dan kota serta antar gender. Pilar kedua yaitu peningkatan
mutu dan daya saing pendidikan dilihat dari guru yang
memenuhi kualifikasi pendidikan S 1 dan 0-IV. Dosen yang memenuhi kualifikasi
S2 dan S3 serta pendidik yang memiliki sertifikat dan jumlah program studi
PTyang masuk dalam 100 besar Asia, 500 besar dunia atau berakreditasi taraf
OECD (pengukuran kualitatif). Sementara itu pilar ketiga adalah penguatan tata
kelola, akuntabilitas dan citra publik pendidikan diantaranya dilihat dari opini BPK atas laporan keuangan serta persentase temuan penyimpangan
BPK dan ltjen. (Oepdiknas, 2008).
Berkaitan dengan peningkatan mutu dan relevansi
pendidikan, masih perlu ditingkatkan karena lembaga pendidikan dinilai belum
sepenuhnya mampu memenuhi tuntutan masyarakat untuk melahirkan lulusan-lulusan
yang kompeten. Masalah mutu dan relevansi sangat dipengaruhi oleh (I) ketersediaan pendidik berkualitas belum . memadai dan persebaran
pendidik yang belum merata, (2) kesejahteraan pendidik yang masih terbatas, (3)
ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan serta fasilitas pendukung kegiatan
pembelajaran yang belum mencukupi, (4) dukungan penyediaan biaya operasional
pendidikan yang belum memadai. Untuk meningkatkan mutu dan relevansi
pendidikan, maka ketersediaan pendidik yang berkualitas dan dalamjumlah yang
mencukupi, serta distribusi yang relatif merata merupakan persyaratan mutlak
yang harus dipenuhi. Berdasarkan data Depdiknas tahun 2007 masih banyak guru
yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S-1 atau D-4 seperti yang
disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Umumnya tenaga pendidik padajenjang SD dan sederajat adalah berpendidikan
Diploma 1-3, bahkan ada pula yang hanya lulusan pendidikan menengah seperti
Sekolah Pendidikan Guru, Pendidikan Guru Agama, Sekolah Guru Olahraga, dan SMA,
Rata-rata kualifikasi.
Kualitas
pendidikan menjadi hal pertama yang diserang oleh tindak kourpsi dalam bidang
pendidikan. Merosotnya kualitas penddidikan ditandai dengan tidak adanya atau
rendahnya perlengkapan yang berkaualitas, adanya ukuran-ukuran mutu yang rendah
dan adanya kandidat yang berkualifikasi dan/atau bermotivasi rendah yang
terpilih (atau membeli posisi) untuk guru dan jabatan laiinya (Kesuma. Et. al
2009:33). Hal ini jelas berdampak, pengisian jabatan baik guru dan kepala
sekolah yang dilakukan dengan proses korup akan menempatkan para koruptor baru
dalam jabatan guru dan kepala sekolah.
Ketika
jabatan guru dan kepala sekolah sudah disisi dengan orang-orang berjiwa korup
maka kualitas pendidikan akan jauh panggang dari api, karena orientasi mereka
bukan lagi meningkatkan kualitas pendidikan tapi bagaiman dengan berbagai cara
mengumpulkan materi utuk pribadi mereka. Sehingga mereka akan mengadakan
program-program fiktif dan/ atau program-program tidak mendasar atau
mengada-ada yang tidak berdampak sama sekali untuk meningkatkan kualitas
pendidikan. Akan muncul para pembuat proyek fiktif, pungutan liar dan
sebagainya yang penting dapat mengembalikan modal dan mendapatkan keuntungan
yang terlah mereka tanam ketika mereka membeli jabatan tersebut. Kualitas
pendidikan akan semakin rapuh ketika dalam bidang pendidikan tumbuh subur
tindak pidana korupsi. Pendidikan Indonesia bukan merupakan pendidikan
yang sekuler, yang memisahkan agama dalam mebentuk warga negara yang baik.
Tindak Pidana korupsi dalam bidang pendidikan menjadikan peserta didik
kehilangan teladan bahkan kepercayaan terhdap sekolah dalam mebentuk mereka.
Sehingga muncul generasi yang memiliki akhlak yag sejalan dengan pejabat
dibidang pendidikan. Benar juga pepatah yang mengatakan “guru kencing
berdiri, murid kencing berlari” ketika jiwa korup sudah meuncul dari
pejabat-pejabat dalam bidang pendidikan bahkan termasuk kepala sekolah dan
guru. Maka siswa juga akan muncul jiwa korup karena mendapatkan teladan
langusng dari kepala sekolah dan guru. Pendidikan Anti Kourpsi harus didasari
keimanan terhadap Tuhan YME, warga negara yang cerdas, beriman dan bertakwa
merupakan modal utama dari jiwa anti korupsi. Oleh karena itu, sekolah harus
menjadi lingkungan yang anti korupsi sehingga tidak terjadi pendekatan formaslistik
dalam pendidikan Anti korupsi tetapi pendekatan pembudayaan anti korupsi
C. Dampak
Korupsi terhadap Kehidupan Sosial dan Kemiskinan
Ada
beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin akibat korupsi,
diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin) cenderung menerima
pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih mudah ketika melayani para
pejabat dan konglemerat dengan harapan akan memiliki gengsi sendiri dan imbalam
materi tentunya, peristiwa seperti ini masih sering kita temui ditengah–tengah
masyarakat. Kedua,Investasi dalam prasarana cenderung mengabaikan
proyek–proyek yang menolong kaum miskin, yang sering terjadi biasanya para
penguasa akan membangun prasarana yang mercusuar namun minim manfaatnya untuk
masyarakat, atau kalau toh ada biasanya momen menjelang kampanye dengan niat
mendapatkan simpatik dan dukungan dari masyarakat. Ketiga, orang yang
miskin dapat terkena pajak yang regresif, hal ini dikarenakan mereka tidak
memiliki wawasan dan pengetahuan tentang soal pajak sehingga gampang dikelabuhi
oleh oknum. Keempat, kaum miskin akan menghadapi kesulitan dalam
menjual hasil pertanian karena terhambat dengan tingginya biaya baik yang legal
maupun yang tidak legal, sudah menjadi rahasia umum ketika seseorang harus
berurusan dengan instansi pemerintah maka dia menyediakan uang, hal ini
dilakukan agar proses dokumentasi tidak menjadi berbelit–belit bahkan ada
sebuah pepatah “kalau bias dipersulit kenapa dipermudah”.
Korupsi,
tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan masyarakat miskin di
desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan Anggaran Pembangunan dan
Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk mencukupkan anggaran pembangunan,
pemerintah pusat menaikkan pendapatan negara, salah satunya contoh dengan
menaikkan harga BBM. Pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan akibat dari
adanya kenaikan BBM tersebut harga-harga kebutuhan pokok seperti
beras semakin tinggi biaya pendidikan semakin mahal, dan pengangguran
bertambah. Tanpa disadari, masyarakat miskin telah menyetor 2 kali kepada para
koruptor. Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya kepada negara lewat
pajak dan retribusi, misalnya pajak tanah dan retribusi puskesmas. Namun oleh
negara hak mereka tidak diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin” tersebut
telah dikuras untuk kepentingan pejabat. Kedua, upaya menaikkan pendapatan
negara melalui kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali “menyetor” negara untuk
kepentingan para koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi rakyat miskin.
Padahal seharusnya negara meminta kepada koruptor untuk mengembalikan uang
rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya, malah menambah beban rakyat
miskin. Partisipasi warga negara dalam pendidikan merupakan usaha agar
mewujudkan warga negara yng terdidik. Semakin banyak partisipasi maka semakin
banyak pula warga negara yang terdidik dan hal ini merupakan modal utama negara
dalam pembangunan. Tetapi ketika sarana dan prasanara tidak tersedia yang
diakibatkan dari tindak korupsi, maka akan menurunkan jumlah partispasi warga negara
dalam pendidikan dan ini jelas menguarangi potensi warga neagra terdidik.
D.
Dampak Korupsi Teradap Birokrasi Pemerintahan
Birokrasi,
baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang paling rawan terhadap
korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan penyelenggaraan
pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga negara. Oleh karena itu,
Transparency International, lembaga internasional yang bergerak dalam upaya
anti korupsi, secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan
kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.
Lebih
jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik ini dalam dua jenis,
yaitu korupsi administratif dan korupsi politik. Secara administratif, korupsi
bisa dilakukan ‘sesuai dengan hukum’, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang
seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang ‘bertentangan dengan hukum’
yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang
untuk dilakukan.
Pada
kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam bentuk uang
pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk,
Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar prosesnya lebih cepat.
Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus diproses dengan
cepat. Sementara jenis korupsi yang kedua, muncul antara lain dalam bentuk
‘uang damai’ dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agar si pelanggar terhindar
dari jerat hukum.
Sementara
pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan, muncul
akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan
bersenjata serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan
oknum militer yang seringkali berlindung di balik institusi militer.
Tim
peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria
Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi:
Ø Secara
formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan
bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi
nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI
memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI
memiliki sumber dana lain di luar APBN.
Ø Perilaku
bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para pengusaha
keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak
mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara
keseluruhan.
Ø Orientasi
komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga menimbulkan
rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama.
Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka
yang mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI memberikan
sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.
Ø Suka
atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semanagat
profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam
kenikmatan berbisnis baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama
pribadi. Selain itu, sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan
Darat, sebagai pengawal kepentingan nasional dan untuk mengadakan pembangunan
ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai
masyarakat telah beralih menjadi pengawal bagi kepentingan golongan elite
birokrat sipil, perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca:
keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan terjadi pula dikotomi, tidak saja
antara masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara perwira yang
profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang berorientasi komersial.
E. Dampak
Korupsi terhadap Birokrasi dan Pemerintahan
Ada
beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin akibat korupsi,
diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin) cenderung menerima
pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih mudah ketika melayani para
pejabat dan konglemerat dengan harapan akan memiliki gengsi sendiri dan imbalam
materi tentunya, peristiwa seperti ini masih sering kita temui ditengah–tengah
masyarakat. Kedua,Investasi dalam prasarana cenderung mengabaikan
proyek–proyek yang menolong kaum miskin, yang sering terjadi biasanya para
penguasa akan membangun prasarana yang mercusuar namun minim manfaatnya untuk
masyarakat, atau kalau toh ada biasanya momen menjelang kampanye dengan niat
mendapatkan simpatik dan dukungan dari masyarakat. Ketiga, orang yang
miskin dapat terkena pajak yang regresif, hal ini dikarenakan mereka tidak
memiliki wawasan dan pengetahuan tentang soal pajak sehingga gampang dikelabuhi
oleh oknum. Keempat, kaum miskin akan menghadapi kesulitan dalam
menjual hasil pertanian karena terhambat dengan tingginya biaya baik yang legal
maupun yang tidak legal, sudah menjadi rahasia umum ketika seseorang harus
berurusan dengan instansi pemerintah maka dia menyediakan uang, hal ini
dilakukan agar proses dokumentasi tidak menjadi berbelit–belit bahkan ada
sebuah pepatah “kalau bias dipersulit kenapa dipermudah”.
Korupsi,
tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan masyarakat miskin di
desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan Anggaran Pembangunan dan
Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk mencukupkan anggaran pembangunan,
pemerintah pusat menaikkan pendapatan negara, salah satunya contoh dengan
menaikkan harga BBM. Pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan akibat dari
adanya kenaikan BBM tersebut harga-harga kebutuhan pokok seperti
beras semakin tinggi biaya pendidikan semakin mahal, dan pengangguran
bertambah. Tanpa disadari, masyarakat miskin telah menyetor 2 kali kepada para
koruptor. Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya kepada negara lewat
pajak dan retribusi, misalnya pajak tanah dan retribusi puskesmas. Namun oleh
negara hak mereka tidak diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin” tersebut
telah dikuras untuk kepentingan pejabat. Kedua, upaya menaikkan pendapatan
negara melalui kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali “menyetor” negara untuk
kepentingan para koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi rakyat miskin.
Padahal seharusnya negara meminta kepada koruptor untuk mengembalikan uang
rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya, malah menambah beban rakyat
miskin.
F. Dampak
Korupsi Teradap Birokrasi Pemerintahan
Birokrasi,
baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang paling rawan terhadap
korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan penyelenggaraan
pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga negara. Oleh karena itu,
Transparency International, lembaga internasional yang bergerak dalam upaya
anti korupsi, secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan
kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.
Lebih
jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik ini dalam dua jenis,
yaitu korupsi administratif dan korupsi politik. Secara administratif, korupsi
bisa dilakukan ‘sesuai dengan hukum’, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang
seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang ‘bertentangan dengan hukum’
yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang
untuk dilakukan.
Pada
kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam bentuk uang
pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk,
Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar prosesnya lebih cepat.
Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus diproses
dengan cepat. Sementara jenis korupsi yang kedua, muncul antara lain dalam
bentuk ‘uang damai’ dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agar si pelanggar
terhindar dari jerat hukum.
Sementara
pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan, muncul
akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan
bersenjata serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan
oknum militer yang seringkali berlindung di balik institusi militer.
Tim
peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria
Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi:
Ø Secara
formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan
bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi
nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI
memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI
memiliki sumber dana lain di luar APBN.
Ø Perilaku
bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para pengusaha
keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak
mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara
keseluruhan.
Ø Orientasi
komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga menimbulkan
rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama.
Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka
yang mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI memberikan
sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.
Ø Suka
atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semanagat
profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam
kenikmatan berbisnis baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama
pribadi. Selain itu, sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan
Darat, sebagai pengawal kepentingan nasional dan untuk mengadakan pembangunan
ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai
masyarakat telah beralih menjadi pengawal bagi kepentingan golongan elite
birokrat sipil, perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca:
keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan terjadi pula dikotomi, tidak saja
antara masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara perwira yang
profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang berorientasi komersial.
G. Dampak
Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi
Dalam
data Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional 2012, India menempati
peringkat ke-94 dengan skor 36, di bawah Thailand, Maroko, dan Zambia. Meskipun
India adalah negara demokrasi, korupsi tetap jadi penyakit yang terus melanda.
Sebaliknya, di Singapura, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih telah
menjadi praktik yang lama berlangsung. Padahal, Singapura bukanlah tergolong
negara demokrasi. Skor indeks persepsi korupsi Singapura adalah 87, menempati
peringkat ke-5, di atas Swiss, Kanada, dan Belanda. Dalam kasus India dan
Singapura, demokrasi tak tampak berkorelasi dengan berkurangnya korupsi.
Di
negara-negara demokrasi baru, demokrasi juga seperti tak berpengaruh terhadap
pengurangan korupsi. Sebagai contoh, Indonesia telah menjadi negara demokrasi
sejak tahun 1998. Menurut Freedom House, lembaga pemeringkat demokrasi dunia, Indonesia
sudah tergolong negara bebas sepenuhnya (demokrasi) sejak 2004. Namun, Indeks
Persepsi Korupsi 2012 menempatkan Indonesia di peringkat ke-118 dengan skor 32.
Artinya, masyarakat merasakan bahwa korupsi masih merajalela di negeri ini.
Mengapa
di sejumlah negara, terutama negara-negara demokrasi baru, demokrasi tampak
tidak menihilkan korupsi? Jawabannya terkait dengan kualitas demokrasi di suatu
negara.
Ada
dua aspek penting yang terkait dengan demokrasi: prosedur dan substansi.
Negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia umumnya masih tergolong ke dalam
demokrasi prosedural. Yang sudah berjalan adalah aspek-aspek yang terkait
dengan pemilihan umum. Hal ini tidak cukup menjamin berlangsungnya demokrasi
yang dapat meminimalkan korupsi. Para aktor yang korup dalam demokrasi
prosedural dapat memanipulasi pemilihan umum yang justru membuat mereka menjadi
pemegang tampuk kekuasaan.
ampai
saat ini, ada lebih dari 325 Kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi, baik
masih menjadi tersangka maupun sudah menjadi terpidana. Masalah utamanya adalah
undang-undang mengenai keuangan daerah itu sendiri. Dalam hal ini, saya
mencatat kekuasaan seorang kepala daerah terhadap keuangan daerah yang begitu
besarlah yang menjadi daya tarik seseorang ingin menjadi kepala daerah.
Tercatat,
sejumlah anggota dewan, mantan menteri, hingga mantan Ketua MPR berlomba-lomba
ingin menjadi kepala daerah. Keuangan Daerah menjadi rawan penyalahgunaan oleh
Kepala Daerah seperti sebuah putusan MK atas kasus sengketa pilkada Sumatera Selatan
yang lalu.
Dalam
putusan yang mengabulkan sebagian tuntutan Herman Deru itu, Alex Noerdin
dinyatakan telah menyalahgunakan dana bansos (57) untuk kepentingan kampanye
sehingga pilkada harus diulang di beberapa kabupaten.
Akun
57 ini memang menjadi dana paling politis terutama di daerah. Nah, anehnya,
meski sudah menjadi putusan MK yang final dan mengikat, penyalahgunaan
penyaluran dana itu tidak cukup menjadi dasar pidana bagi Alex Noerdin yang
sampai kini masih menjabat sebagai Gubernur Sumatra Selatan.
Upaya
untuk mencegah pola korupsi Orba itu pun makin keteteran mana kala pola relasi
bisnis dan politik pun terjadi di masa reformasi. Bahkan, pola korupsi di masa
reformasi bisa dikatakan lebih parah karena dimulai dari hulunya, yakni dari
informasi anggaran dimulai.
Isunya,
informasi akan adanya proyek A atau proyek B pada tahun anggaran berikutnya
sudah dijual ke rekanan agar ketika lelang dilakukan, rekanan A atau rekanan B
akan mendapatkannya karena memanfaatkan informasi tersebut.
Istilah
korupsi politik dalam awal tulisan ini pun akhirnya menjadi politik korupsi.
Politik korupsi menjadi wacana aktual Indonesia dengan menempatkan kerja
politik tidak bisa dilepaskan dari langkah-langkah korupsi untuk mengeruk uang
rakyat.
Politik
yang seharusnya sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahtaraan rakyat dan
sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi, malah dibuat sebagai
sarana untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab tanpa memikirkan masyarakat kecil.
Disimpulkan,
dampak-dampak korupsi pada sistem politik di Indonesia adalah:
1. Menguatnya Plutokrasi
Korupsi
yang sudah menyandera pemerintahan pada akhirnya akan menghasilkan konsekuensi
menguatnya plutokrasi (sistem politik yang dikuasai oleh pemilik
modal/kapitalis) karena sebagian orang atau perusahaan besar melakukan
‘transaksi’ dengan pemerintah, sehingga pada suatu saat merekalah yang
mengendalikan dan menjadi penguasa di negeri ini.
Perusahaan-perusahaan
besar ternyata juga ada hubungannya dengan partai-partai yang ada di kancah
perpolitikan negeri ini, bahkan beberapa pengusaha besar menjadi ketua sebuah
partai politik. Tak urung antara kepentingan partai dengan kepentingan
perusahaan menjadi sangat ambigu.
Perusahaan-perusahaan
tersebut menguasai berbagai hajat hidup orang banyak, seperti bahan bakar dan
energi, bahan makanan dasar dan olahan, transportasi, perumahan, keuangan dan
perbankan, bahkan media massa pada saat ini setiap stasiun televisi dikuasai
oleh oligarki tersebut. Kondisi ini membuat informasi yang disebarluaskan
selalu mempunyai tendensi politik tertentu dan ini bisa memecah belah rakyat
karena begitu biasnya informasi.
2. Biaya Politik yang
Tinggi
Lingkaran
setan ini akan terus berjalan dan berdampak pada kian meningkatnya biaya
politik. Demokratisasi yang dijankan tanpa adanya pendidikan politik yang baik
dari pemerintah kepada masyarakat atau pun dari para pelaku politik praktis
akan menghasilkan penyelenggaraan demokrasi yang money politics.
Suara-suara dapat diperjualbelikan dan suara-suara itu makin lama makin mahal.
3. Munculnya Pemimpin
yang Korup
Adalah
hukum rimba yang mengatakan masukan sebanding dengan keluaran. Kondisi politik
yang carut marut dan cenderung sangat koruptif menghasilkan masyarakat yang
tidak demokratis. Perilaku koruptif dan tindak korupsi dilakukan dari tingkat
yang paling bawah sampai dengan pucuk pimpinan.
Konstituen
didapatkan dan berjalan karena adanya suap yang diberikan oleh calon-calon
pemimpin partai, bukan karena simpati atau percaya terhadap kemampuan dan
kepemimpinannya. Hubungan transaksional sudah berjalan dari hulu yang pada
akhirnya pun memunculkan pemimpin yang korup juga karena proses yang dilakukan
bersifat transaksional.
Masyarakat
juga seolah-olah digiring untuk memilih pemimpin yang korup dan diberikan
mimpi-mimpi dan janji akan kesejahteraan yang menjadi dambaan rakyat sekaligus
menerima suap dari calon pemimpin tersebut.
4. Fungsi Pemerintahan
Mandul
Korupsi
telah mengikis banyak kemampuan pemerintah untuk melakukan fungsi yang
seharusnya. Dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi pemerintahan,
sebagai pengampu kebijakan negara, dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Korupsi
menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi anggaran
- Korupsi
menghambat negara melakukan pemerataan akses dan aset
- Korupsi
juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan
politik.
5. Hilangnya Kepercayaan
Masyarakat kepada Lembaga Negara
Korupsi
yang terjadi pada lembaga-lembaga negara seperti yang terjadi di Indonesia dan
marak diberitakan di berbagai media massa mengakibatkan kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga tersebut hilang. Akhir-akhir ini masyarakat kita banyak
menerima informasi melalui berbagai media tentang bobroknya penegakan hukum di
Indonesia. Mulai kasus Gayus Tambunan sampai perang kepentingan di Kepolisian
RI dalam menindak praktik mafia hukum.
Berita
yang paling akhir adalah kasus korupsi besar-besaran pembangunan wisma atlet di
Palembang dan kasus Hambalang yang melibatkan pejabat pemerintahan dan para
petinggi partai politik yang berkuasa yang pada akhirnya terkait dengan kinerja
pemerintahan yang sedang berjalan. Kondisi yang memprihatinkan ini ditengarai
juga melibatkan berbagai mafia, seperti mafia hukum dan mafia anggaran.
Sungguh
situasi yang paradoks, padahal seharusnya suatu sistem hukum diciptakan
oleh otoritas pemerintah atas dasar kepercayaan masyarakat, dengan harapan
bahwa melalui kedaulatan pemerintah (government sovereignty), hak-hak
mereka dapat dilindungi. Dengan demikian, pemerintah menciptakan keteraturan
dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. Sudah menjadi tugas dari
lembaga-lembaga tersebut untuk melaksanakannya, bukan sebaliknya.
6. Hilangnya Kepercayaan
Publik pada Demokrasi
Demokrasi
yang diterapkan di Indonesia sedang menghadapi cobaan berat yakni berkurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya
tindak korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh petinggi pemerintah,
legislatif atau petinggi partai politik. Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya
bahkan hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.
Masyarakat
akan semakin apatis dengan apa yang dilakukan dan diputuskan oleh pemerintah.
Apatisme yang terjadi ini seakan memisahkan antara masyarakat dan pemerintah
yang akan terkesan berjalan sendiri-sendiri. Hal ini benar-benar harus diatasi
dengan kepemimpinan yang baik, jujur, bersih dan adil. Sistem demokrasi yang
dijalankan Indonesia masih sangat muda, walaupun kelihatannya stabil namun
menyimpan berbagai kerentanan.
Tersebarnya
kekuasaan di tangan banyak orang ternyata telah dijadikan peluang bagi
merajalelanya penyuapan. Reformasi yang dilakukan tanpa landasan hukum yang
kuat justru melibatkan pembukaan sejumlah lokus ekonomi bagi penyuapan, yang
dalam praktiknya melibatkan para broker bahkan menumbuhkan mafia.
7. Hancurnya Kedaulatan
Rakyat
Dengan
semakin jelasnya plutokrasi yang terjadi, kekayaan negara ini hanya dinikmati
oleh sekelompok tertentu bukan oleh rakyat yang seharusnya. Perusahaan besar
mengendalikan politik dan sebaliknya juga politik digunakan untuk keuntungan
perusahaan besar. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Namun wakil rakyat yang
terbentuk dari sistem politik yang rusak dapat menghasilkan interpretasi yang
berbeda atas kedaulatan tersebut.
Sebagai
contoh, pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bumi, air, dan kekayaan alam
dikelola oleh negara dan digunakan semestinya untuk kepentingan rakyat membuat
asumsi kata dikelola berarti hal tersebut boleh diswastanisasi asal negara
mendapat royaltinya. Sehingga dalam hal air mineral saja, rakyat harus
membelinya dari swasta padahal air adalah barang publik yang semestinya lebih
bisa dikelola dengan bijak oleh pemerintah.
H. Dampak
Korupsi Terhadap Penegakan Hukum
Sejak
lahirnya UU No. 24/PrP/1960 berlaku sampai 1971, setelah diungkapkannya
Undang-undang pengganti yakni UU No. 3 pada tanggal 29 Maret 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Baik pada waktu berlakunya kedua
undang-undang tersebut dinilai tidak mampu berbuat banyak dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena undang-undang yang dibuat
dianggap tidak sempurna yaitu sesuai dengan perkembangan zaman, padahal
undang-undang seharusnya dibuat dengan tingkat prediktibilitas yang tinggi.
Namun pada saat membuat peraturan perundang-undangan ditingkat legislatif
terjadi sebuah tindak pidana korupsi baik dari segi waktu maupun keuangan.
Dimana legislatif hanya memakan gaji semu yang diperoleh mereka ketika
melakukan rapat. Sehingga apa yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan itu hanya melindungi kaum pejabat saja dan mengabaikan
masyarakat.
Menyikapi
hal seperti itu pada tahun 1999 dinyatakan undang-undang yang dianggap lebih
baik, yaitu UU No.31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun
2001 sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1971. kemudian pada tanggal 27 Desember
telah dikeluarkan UU No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,
yaitu sebuah lembaga negara independen yang berperan besar dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia.
Hal
ini berarti dengan dikeluarkannya undang-undang dianggap lebih sempurna, maka
diharapkan aparat penegak hukum dapat menegakkan atau menjalankan hukum
tersebut dengan sempurna. Akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya adalah
budaya suap telah menggerogoti kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan
penegakkan hukum sebagai pelaksanaan produk hukum di Indonesia. Secara tegas
terjadi ketidaksesuaian antara undang-undang yang dibuat dengan aparat penegak
hukum, hal ini dikarenakan sebagai kekuatan politik yang melindungi
pejabat-pejabat negara. Sejak dikeluarkannya undang-undang tahun 1960, gagalnya
pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara
terlalu turut campur dalam pemberantasan urusan penegakkan hukum yang
mempengaruhi dan mengatur proses jalannya peradilan. Dengan hal yang demikian
berarti penegakan hukum tindak pidana di Indonesia telah terjadi feodalisme
hukum secara sistematis oleh pejabat-pejabat negara. Sampai sekarang ini banyak
penegak hukum dibuat tidak berdaya untuk mengadili pejabat tinggi yang
melakukan korupsi. Dalam domen logos, pejabat tinggi yang korup mendapat dan
menikmati privilege karena mendapat perlakuan yang istimewa, dan pada domen
teknologos, hukum pidana korupsi tidak diterapkan adanya pretrial sehingga
banyak koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak cukup
bukti.
I.
Dampak Korupsi terhadap Kerusakan
Lingkungan
Kebanyakan
manusia menempatkan lingkungan hidup hanya sebagai bahan eksploitasi untuk tujuan
jangka pendek. Kondisi ini tentu sangat medesak untuk segera dikendalikan.
Perlu diadakan suatu sistem yang konkrit untuk melakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Jika tidak, kerusakan
lingkungan hidup sudah pasti akan menjadi ancaman besar bagi peradaban
masyarakat dunia. Paradigma yang menempatkan lingkungan sebagai obyek
eksploitasi telah membawa kerusakan lingkungan fatal yang berujung kepada
berbagai bencana alam yang sangat merugikan. Hal ini pun dikuatkan oleh Emil
Salim yang menyimpulkan bahwa ada lima tantangan besar yang harus dihadapi
gerakan penyelamatan lingkungan hidup, diantaranya : pertama adalah
penyelematan air dari eksploitasi secara berlebihan dan pecemaran yang kian
meningkat, baik air tanah, sungai, danau, rawa, maupun air laut. Kedua,
merosotnya kualitas tanah dan hutan akibat tekanan penduduk dan eksploitasi
besar-besaran untuk keperluan pembangunan. Ketiga, menciutnya keanekaan
hayati akibat rusaknya habitat lingkungan berbagai tumbuh-tumbuhan dan
hewan. Keempat, perubahan iklim, dan yang terakhir adalah meningkatnya
jumlah kota-kota berpenduduk banyak.
Melihat
kerusakan lingkungan hutan yang begitu parah seharusnya sudah membuat negara
ini menindak dengan keras terhadap pelaku-pelaku kejahatan kerusakan
lingkungan, terutama yang disertai praktik KKN. Dalam praktik KKN di ranah
lingkungan hidup yang patut diwaspadai adalah para pelaku perusak lingkungan
yang datang dari kalangan pemodal besar seperti perusahaan-perusahaan besar
yang terlibat di sektor kehutanan maupun pertambangan. Hal ini ditegaskan oleh
mantan wakil ketua KPK Chandra Hamzah dalam sebuah worksop investigasi kasus
lingkungan di Jakarta, dimana menurutnya, perusahaan-perusahaan yang melakukan
kerusakan terhadap alam umumnya sulit ditindak karena mereka mengantongi izin
usaha yang cukup. Karena itu menurutnya, yang perlu diwaspadai adalah proses
kontrol administrasi dalam pemberian izin sebelum perusahaan-perusahaan
tersebut beroperasi. Baik itu izin usaha baik dari pemerintah daerah maupun
dari pemerintah pusat. Lalu menurut beliau, perusahaan-perusahaan kecil
yang bergerak di bidang kehutanan namun pada RKAT tahun berikutnya tercatat
memiliki jumlah keuntungan yang sangat besar, maka patut dicurigai perusahan
tersebut mendapatkan hasil bukan dari pohon-pohon yang mereka tanam melainkan
dari hutan-hutan alam yang seharusnya tidak boleh ditebang.
Permasalahan
yang terjadi, masyarakat kita kurang peduli akan kerugian ekologis ini,
seringkali pelaku-pelaku usaha yang menyebabkan kerusakan lingkungan hanya
terfokus mengenai ganti rugi terhadap penduduk setempat. Memang benar
ganti rugi itu perlu bahkan itu kewajiban mereka, namun ganti kerugian oleh para
pelaku usaha jangan hanya sebatas ganti rugi materi kepada manusia, namun juga
kepada alam. Alam yang rusak tidak bisa diperbaiki hanya dengan semalam perlu
waktu berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin saja kerusakan tersebut tidak akan
bisa diperbaiki.
Korupsi
sepertinya sudah membudaya dalam kehidupan bangsa Indonesia,
perbuatan-perbuatan yang kita anggap biasa seperti memberikan sesuatu kepada
orang yang kita hormati dapat digolongkan tindak korupsi. Ketika telah menjadi
budaya maka pemberantasan korupsi juga harus terstruktur dalam pendidikan,
karena pendidikan merupakan saluran dari proses pembudayaan warga negara.
tetapi ketika bidang pendidikan terjadi tindakan-tindakan korup maka proses
pembudayaan masyarakat anti korupsi seperti menanam benih di padang pasir yang
tandus.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Korupsi
mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam bentuk
peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika kebijakan
dilakukan dalam pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan dan
kebijakan, misalnya, pada perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan
sebagainya, malah akan mendorong terjadinya inefisiensi.
Kualitas
pendidikan menjadi hal pertama yang diserang oleh tindak kourpsi dalam bidang
pendidikan. Merosotnya kualitas penddidikan ditandai dengan tidak adanya atau
rendahnya perlengkapan yang berkaualitas, adanya ukuran-ukuran mutu yang rendah
dan adanya kandidat yang berkualifikasi dan/atau bermotivasi rendah yang
terpilih (atau membeli posisi) untuk guru dan jabatan laiinya. Ada beberapa
dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin akibat korupsi,
diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin) cenderung menerima
pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih mudah ketika melayani para
pejabat dan konglemerat dengan harapan akan memiliki gengsi sendiri dan imbalam
materi tentunya, peristiwa seperti ini masih sering kita temui ditengah–tengah
masyarakat.
Birokrasi,
baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang paling rawan terhadap
korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan penyelenggaraan
pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga negara. Oleh karena itu,
Transparency International, lembaga internasional yang bergerak dalam upaya
anti korupsi, secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan
kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.
Kebanyakan
manusia menempatkan lingkungan hidup hanya sebagai bahan eksploitasi untuk
tujuan jangka pendek. Kondisi ini tentu sangat medesak untuk segera
dikendalikan. Perlu diadakan suatu sistem yang konkrit untuk melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Jika tidak,
kerusakan lingkungan hidup sudah pasti akan menjadi ancaman besar bagi
peradaban masyarakat dunia. Paradigma yang menempatkan lingkungan sebagai obyek
eksploitasi telah membawa kerusakan lingkungan fatal yang berujung kepada
berbagai bencana alam yang sangat merugikan.
B.
Saran
Korupsi
merupakan kegiatan yang merugikan banyak orang terutama warga negara. Selain
itu kuropsi juga memiliki dampak yang sangat banyak yang juga berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat. Oleh karena itu kita sebagai mahasiswa yang
terdidik sedini mungkin untuk bisa mencegah semua bentuk perbuatan korupsi baik
itu dalam bentuk kecil mapun yang sudah besar. Dengan berupaya mencegah
tindakan korupsi itu berarti kita sudah memperbaiki bangsa ini menjadi lebih
baik. Sebagai mahasiswa kita harus bisa memerangi korupsi yang banyak merugikan
banyak pihak.
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment