Thursday, October 10, 2019

DAMPAK KORUPSI


MAKALAH
DAMPAK KORUPSI


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Konservasi
Dosen pembimbing: Dr. Ali sunarso, M.Pd

Disusun oleh:
Kelompok 8

1.        Mohamad Yusuf              (1401418263)
2.        Herdiana Ayu Mahardika            (1401418290)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Taala atas berkat dan karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Dampak korupsi” sebagai tugas Mata Kuliahpendidikan konservasia Semester Genap tahun 2018/ 2019.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusun dalam penyusunan makalah ini, yaitu:
1.            Allah Subhanahu Wa Taala yang senantiasa memberi kemudahan penyusunan makalah ini.
2.            Dr. Ali Sunarso, M.Pd selaku dosen pembimbing Keterampilan Berbahasa dan Bersastra Indonesia yang telah membimbing penyusun dalam menyusun makalah ini.
3.            Teman-teman yang selalu memberikan dukungan demi terselesaikannya tugas ini.
4.            Pihak-pihak yang telah membantu penyusun dalam menyusun makalah ini yang tidak dapat penyusun sebutkan satu persatu.
Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai dampak korupsi. Penyusun telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya, namun tentu makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun dan bermanfaat bagi penyusun.       

 

Semarang,  April 2019

                                                            Penyusun



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR…………………………………………………………....…i
DAFTAR ISI………………………………………………………………...……...ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................5
1.3 Tujuan Makalah..............................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN
A.    Dampak Korupsi terhadap Perekonomian.....................................................7
B.     Dampak Korupsi terhadap Pendidikan.......................................................12
C.     Dampak korupsi terhadap kehidupan sosial dan kemanusiaan……………..15
D.    Dampak korupsi terhadap politik dan demokrasi…………………………...17
E.     Dampak korupsi terhadap pertahanan dan keamanan……………………….18
F.      Dampak korupsi terhadap penegakan hukum……………………………….19
G.    Dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan…………………………...21
H.    Dampak korupsi terhadap penegakan hukum………………………….........26
I.       Dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan…………………………...28
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................................................30
3.2 Saran……………………………………………………………………..…..31
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................31






BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Korupsi di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang  silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila disederhanakan penyebab  korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar. Faktor internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku  korup. Faktor eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan, aspek managemen & organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum,  terlihat dalam  buruknya  wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti korupsi.
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantaradua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negaratercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin.Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.
Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi,atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendahmaka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke jurang kehancuran.Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.

B.       Rumusan Masalah
1. Apa dampak korupsi bagi perekonomian?
2. Apa dampak korupsi terhadap pendidikan?
3. Apa dampak korupsi terhadap kehidupan sosial dan kemanusiaan?
4. Apa dampak korupsi terhadap politik dan demokrasi?
5. Apa dampak korupsi terhadap pertahanan dan keamanan?
6. Apa dampak korupsi terhadap penegakan hukum?
7. Apa dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan?
8. Apa dampak korupsi terhadap penegakan hukum?
9. Apa dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan?


C.       Tujuan
1. Dapat memahami dampak korupsi bagi perekonomian.
2. Dapat memahami dampak korupsi terhadap pendidikan.
3. Dapat memahami dampak korupsi terhadap kehidupan sosial dan kemanusiaan.
4. Dapat memahami dampak korupsi terhadap politik dan demokrasi.
5. Dapat memahami dampak korupsi terhadap pertahanan dan keamanan.
6. Dapat memahami dampak korupsi terhadap penegakan hukum.
7. Dapat memaham dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan.
8. Dapat memaham dampak korupsi terhadap penegakan hukum.
9. Dapat memaham dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan














BAB II
PEMBAHASAN

A.      Dampak Korupsi terhadap Perekonomian
Korupsi mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam bentuk peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika kebijakan dilakukan dalam pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan dan kebijakan, misalnya, pada perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan sebagainya, malah akan mendorong terjadinya inefisiensi. Korupsi mendistorsi insentif seseorang, dan seharusnya melakukan kegiatan yang produktif menjadi keinginan untuk merealisasikan peluang korupsi dan pada akhimya menyumbangkan negatif value added. Korupsi menjadi bagian dari welfare cost memperbesar biaya produksi, dan selanjutnya memperbesar biaya yang harus dibayar oleh konsumen dan masyarakat (dalam kasus pajak), sehingga secara keseluruhan berakibat pada kesejahteraan masyarakat yang turun.
Korupsi mereduksi peran pundamental pemerintah (misalnya pada penerapan dan pembuatan kontrak, proteksi, pemberian property rights dan sebagainya). Pada akhirnya hal ini akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi yang dicapai.
Korupsi mengurangi legitimasi dari peran pasar pada perekonomian, dan juga proses demokrasi. Kasus seperti ini sangat terlihat pada negara yang sedang mengalami masa transisi, baik dari tipe perekonomian yang sentralistik ke perekonomian yang lebih terbuka atau pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis, sebagaimana terjadi dalam kasus Indonesia.
Korupsi memperbesar angka kemiskinan. ini sangat wajar. Selain dikarenakan program-program pemerintah sebagaimana disebut di atas tidak mencapai sasaran, korupsi juga mengurangi potensi pendapatan yang mungkin diterima oleh si miskin. Menurut Tanzi (2002), perusahaan perusahaan kecil adalah pihak yang paling sering menjadi sasaran korupsi dalam bentuk pungutan tak resmi (pungutan liar). Bahkan, pungutan tak resmi ini bisa mencapai hampir dua puluh persen dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan ini amat mengkhawatirkan, dikarenakan pada negara negara berkembang seperti Indonesia, perusahaan kecil (UKM adalah mesin pertumbuhan karena perannya yang banyak menycrap tenaga kerja).
Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction effects) terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan negara, khususnya dalam sisi ekonomi sebagai pendorong utama kesejahteraan masyarakat. Mauro menerangkan hubungan antara korupsi dan ekonomi. Menurutnya korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan dengan pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan kesejahteraan. Hal ini merupakan bagian dari inti ekonomi makro. Kenyataan bahwa korupsi memiliki hubungan langsung dengan hal ini mendorong pemerintah berupaya menanggulangi korupsi, baik secara preventif, represif maupun kuratif.
Di sisi lain meningkatnya korupsi berakibat pada meningkatnya biaya barang dan jasa, yang kemudian bisa melonjakkan utang negara. Pada keadaan ini, inefisiensi terjadi, yaitu ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak kebijakan namun disertai dengan maraknya praktek korupsi, bukannya memberikan nilai positif misalnya perbaikan kondisi yang semakin tertata, namun justru memberikan negatif  value added bagi perekonomian secara umum. Misalnya, anggaran perusahaan yang sebaiknya diputar dalam perputaran ekonomi, justru dialokasikan untuk birokrasi yang ujung-ujungnya terbuang masuk ke kantong pribadi pejabat.
Berbagai macam permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah apabila korupsi sudah merajalela dan berikut ini adalah hasil dari dampak ekonomi yang akan terjadi, yaitu:
1. Lesunya Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi
Korupsi bertanggung jawab terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi dalam negeri. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Penanaman modal yang dilakukan oleh pihak dalam negeri (PMDN) dan asing (PMA) yang semestinya bisa digunakan untuk pembangunan negara menjadi sulit sekali terlaksana, karena permasalahan kepercayaan dan kepastian hukum dalam melakukan investasi, selain masalah stabilitas. Dari laporan yang diberikan oleh PERC (Political and Economic Risk Consultancy)  pada akhirnya hal ini akan menyulitkan pertumbuhan investasi di Indonesia, khususnya investasi asing karena iklim yang ada tidak kondusif. Hal ini jelas karena terjadinya tindak korupsi yang sampai tingkat mengkhawatirkan yang secara langsung maupun tidak mengakibatkan ketidakpercayaan dan ketakutan pihak investor asing untuk menanamkan investasinya ke Indonesia.
Kondisi negara yang korup akan membuat pengusaha multinasional meninggalkannya, karena investasi di negara yang korup akan merugikan dirinya karena memiliki ‘biaya siluman’ yang tinggi. Dalam studinya, Paulo Mauro mengungkapkan dampak korupsi pada pertumbuhan investasi dan belanja pemerintah bahwa korupsi secara langsung dan tidak langsung adalah penghambat pertumbuhan investasi. Berbagai organisasi ekonomi dan pengusaha asing di seluruh dunia menyadari bahwa suburnya korupsi di suatu negara adalah ancaman serius bagi investasi yang ditanam.

2. Penurunan Produktifitas
Dengan semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi, maka tidak dapat disanggah lagi, bahwa produktifitas akan semakin menurun. Hal ini terjadi seiring dengan terhambatnya sektor industri dan produksi untuk bisa berkembang lebih baik atau melakukan pengembangan kapasitas. Penurunan produktifitas ini juga akan menyebabkan permasalahan yang lain, seperti tingginya angka PHK dan meningkatnya angka pengangguran. Ujung dari penurunan produktifitas ini adalah kemiskinan masyarakat.

3. Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa Bagi Publik
Ini adalah sepenggal kisah sedih yang dialami masyarakat kita yang tidak perlu terjadi apabila kualitas jalan raya baik sehingga tidak membahayakan pengendara yang melintasinya. Hal ini mungkin juga tidak terjadi apabila tersedia sarana angkutan umum yang baik, manusiawi dan terjangkau. Ironinya pemerintah dan departemen yang bersangkutan tidak merasa bersalah dengan kondisi yang ada, selalu berkelit bahwa mereka telah bekerja sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
Rusaknya jalan-jalan, ambruknya jembatan, tergulingnya kereta api, beras murah yang tidak layak makan, tabung gas yang meledak, bahan bakar yang merusak kendaraan masyarakat, tidak layak dan tidak nyamannya angkutan umum, ambruknya bangunan sekolah, merupakan serangkaian kenyataan rendahnya kualitas barang dan jasa sebagai akibat korupsi. Korupsi menimbulkan berbagai kekacauan di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek lain yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak.
Pejabat birokrasi yang korup akan menambah kompleksitas proyek tersebut untuk menyembunyikan berbagai praktek korupsi yang terjadi. Pada akhirnya korupsi berakibat menurunkan kualitas barang dan jasa bagi publik dengan cara mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, syarat-syarat material dan produksi, syarat-syarat kesehatan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

4. Menurunnya Pendapatan Negara Dari Sektor Pajak
Sebagian besar negara di dunia ini mempunyai sistem pajak yang menjadi perangkat penting untuk membiayai pengeluaran pemerintahnya dalam menyediakan barang dan jasa publik, sehingga boleh dikatakan bahwa pajak adalah sesuatu yang penting bagi negara. Di Indonesia, dikenal beberapa jenis pajak seperti Pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).
Pajak berfungsi sebagai stabilisasi harga sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan inflasi, di sisi lain pajak juga mempunyai fungsi redistribusi pendapatan, di mana pajak yang dipungut oleh negara selanjutnya akan digunakan untuk pembangunan, dan pembukaan kesempatan kerja yang pada akhirnya akan menyejahterakan masyarakat. Pajak sangat penting bagi kelangsungan pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat juga pada akhirnya.
Kondisi penurunan pendapatan dari sektor pajak diperparah dengan kenyataan bahwa banyak sekali pegawai dan pejabat pajak yang bermain untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan memperkaya diri sendiri. Kita tidak bisa membayangkan apabila ketidakpercayaan masyarakat terhadap pajak ini berlangsung lama, tentunya akan berakibat juga pada percepatan pembangunan, yang rugi juga masyarakat sendiri, inilah letak ketidakadilan tersebut.
Kerugian finansial jelas menjadi salah satu dampak dari prilaku korup para pemegang jabatan publik dalam dunia pendidikan. Walau jika dilihat secara oknum nominalnya tidak besar sehingga tidak dapat di tindak dengan KPK tetapi jika diakumulasikan maka akan muncul jumlah yang sangat besar. Hal ini harusnya mendapat perhatian khusu dari aparat penegak hukum dalam tipikor selain KPK yaitu Polisi dan Jaksa untuk mampu menyeret para koruptor dalam bdaing pendidikan.
Dengan Anggaran 20% dari APBN dan APBD dan dana yang besar itu dipecah menjadi bagian-bagian kecil lalu bagian-bagian kecil itu ternayata dikorupsi maka kerugian finansia akan langsung terasa kepada negara.
Selain itu kerugian finansial akan juga berdampak kepada masyarakat umum dengan pungutan-pungutan liar yang terjadi disekolah. Walau dari tiap orang tua nominalnya kecil tetapi bila dijumlahkan maka akan menjadi nominal  yang cukup besar. Sebagai contoh 1 orang siswa dipungli Rp.10.000 dikali jumlah seluruh siswa yang ada disekolah tersebut contoh 1000 siswa maka 10.0000 x 1000 maka terkumpul dana Rp 10.000.000  dan dikalikan semua sekolah yang ada di Indonesia maka akan terakumulasi jumlah dana yang sangat besar.
5. Meningkatnya Hutang Negara
Kondisi perekonomian dunia yang mengalami resesi dan hampir melanda semua negara termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, memaksa negara-negara tersebut untuk melakukan hutang untuk mendorong perekonomiannya yang sedang melambat karena resesi dan menutup biaya anggaran yang defisit, atau untuk membangun infrastruktur penting. Bagaimana dengan hutang Indonesia?
Korupsi yang terjadi di Indonesia akan meningkatkan hutang luar negeri yang semakin besar. Dari data yang diambil dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutang, Kementerian Keuangan RI, disebutkan bahwa total hutang pemerintah per 31 Mei 2011 mencapai US$201,07 miliar atau setara dengan Rp. 1.716,56 trilliun, sebuah angka yang fantastis. Hutang tersebut terbagi atas dua sumber, yaitu pinjaman sebesar US$69,03 miliar (pinjaman luar negeri US$68,97 miliar) dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar US$132,05 miliar. Berdasarkan jenis mata uang, utang sebesar US$201,1 miliar tersebut terbagi atas Rp956 triliun, US$42,4 miliar, 2.679,5 miliar Yen dan 5,3 miliar Euro. Posisi utang pemerintah terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009, jumlah utang yang dibukukan pemerintah sebesar US$169,22 miliar (Rp1.590,66 triliun). Tahun 2010, jumlahnya kembali naik hingga mencapai US$186,50 miliar (Rp1.676,85 triliun).  Posisi utang pemerintah saat ini juga naik dari posisi per April 2011 yang sebesar US$197,97 miliar. Jika menggunakan PDB Indonesia yang sebesar Rp6.422,9 triliun, maka rasio utang Indonesia tercatat sebesar 26%.
Sementara untuk utang swasta, data Bank Indonesia (BI) menunjukkan jumlah nilai utang pihak swasta naik pesat dari US$73,606 miliar pada 2009 ke posisi US$84,722 miliar pada kuartal I 2011 atau setara 15,1%. Secara year on year (yoy) saja, pinjaman luar negeri  swasta telah meningkat 12,6% atau naik dari US$75,207 pada kuartal I 2010. Dari total utang pada tiga bulan pertama tahun ini, utang luar negeri swasta mayoritas disumbang oleh pihak non-bank sebesar US$71,667 miliar dan pihak bank sebesar US$13,055 miliar (www.metronews.com /read/news/ 2011,14 Juni 2011).
Bila melihat kondisi secara umum, hutang adalah hal yang biasa, asal digunakan untuk kegiatan yang produktif hutang dapat dikembalikan. Apabila hutang digunakan untuk menutup defisit yang terjadi, hal ini akan semakin memperburuk keadaan. Kita tidak bisa membayangkan ke depan apa yang terjadi apabila hutang negara yang kian membengkak ini digunakan untuk sesuatu yang sama sekali tidak produktif dan dikorupsi secara besar-besaran.

B.       Dampak Korupsi terhadap Pendidikan
Pendidikan merupakan hak asasi individu yang telah diamanahkan dalam berbagai perundangan. Untuk itu pemerintah telah menggariskan bahwa 20% anggaran dialokasikan untuk pembangunan pendidikan. Melalui besamya dukungan anggaran tersebut, diharapkan pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik, namun, harapan tersebut masih belum terwujud sepenuhnya. Sebagian masyarakat, khususnya kelompok miskin masih dihadapkan pada persoalan akses terhadap pendidikan. Adanya kebocoran anggaran di sektor pendidikan merupakan salah satu sebab kurang maksimalnya layanan pendidikan terhadap kelompok miskin. Tulisan ini bertujuan mendiskusikan pencapaian pembangunan pendidikan dan permasalahannY.a serta bagaimana korupsi di sektor pendidikan berimplikasi terhadap pembangunan pendidikan. Meskipun dalam realitasnya, institusi pendidikan tidak terlepas dari persoalan korupsi, namun lembaga ini rnerupakan media strategis untuk menanamkan nilai - nilai moral tennasuk antikorupsi. Siswa yang akan menjadi generasi penerus bangsa di masa mendatang sejak dini harus dididik untuk menjauhi dan memerangi praktek korupsi. Untuk itu substansi pendidikan antikorupsi perlu diberikan pada siswa sejak dini. Selain itu perbaikan tata kelola di sektor pendidikan perlu dilakukan dengan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya guna mendorong tranparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran dan perumusan kebijakan pendidikan sehingga dapat menghindari penyimpangan dan penyelewengan pada anggaran pendidikan.

Pencapaian pembangunan pendidikan di Indonesia, diantaranya berkaitan dengan tiga pilar pembangunan pendidikan, sesuai dengan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2004-2009 yaitu 1) perluasan dan pemerataan akses pendidikan; 2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan; 3) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan. Ketiga pilar tersebut diharapkan dapat menghasilkan pendidikan bermutu, akuntabel, murah, merata, dan terjangkau oleh raky~t banyak. Pilar pertama perluasan dan pemerataan akses pendidikan diukur dari indikator angka partisipasi mumi dan kasar (APM danAPK) di tingkat SO dan yang sederajat sampai perguruan tinggi. Indikator lain adalah jumlah penduduk kurang dari 15 tahun yang buta aksara. Sedangkan pemerataan akses pendidikan diuk:ur dari disparitas angka partisipasi di tingkat SO sederajat sampai perguruan tinggi antara kabupaten dan kota serta antar gender. Pilar kedua yaitu peningkatan mutu dan daya saing pendidikan dilihat dari guru yang memenuhi kualifikasi pendidikan S 1 dan 0-IV. Dosen yang memenuhi kualifikasi S2 dan S3 serta pendidik yang memiliki sertifikat dan jumlah program studi PTyang masuk dalam 100 besar Asia, 500 besar dunia atau berakreditasi taraf OECD (pengukuran kualitatif). Sementara itu pilar ketiga adalah penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pendidikan diantaranya dilihat dari opini BPK atas laporan keuangan serta persentase temuan penyimpangan BPK dan ltjen. (Oepdiknas, 2008).
Berkaitan dengan peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, masih perlu ditingkatkan karena lembaga pendidikan dinilai belum sepenuhnya mampu memenuhi tuntutan masyarakat untuk melahirkan lulusan-lulusan yang kompeten. Masalah mutu dan relevansi sangat dipengaruhi oleh (I) ketersediaan pendidik berkualitas belum . memadai dan persebaran pendidik yang belum merata, (2) kesejahteraan pendidik yang masih terbatas, (3) ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan serta fasilitas pendukung kegiatan pembelajaran yang belum mencukupi, (4) dukungan penyediaan biaya operasional pendidikan yang belum memadai. Untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, maka ketersediaan pendidik yang berkualitas dan dalamjumlah yang mencukupi, serta distribusi yang relatif merata merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi. Berdasarkan data Depdiknas tahun 2007 masih banyak guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S-1 atau D-4 seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Umumnya tenaga pendidik padajenjang SD dan sederajat adalah berpendidikan Diploma 1-3, bahkan ada pula yang hanya lulusan pendidikan menengah seperti Sekolah Pendidikan Guru, Pendidikan Guru Agama, Sekolah Guru Olahraga, dan SMA, Rata-rata kualifikasi.

Kualitas pendidikan menjadi hal pertama yang diserang oleh tindak kourpsi dalam bidang pendidikan. Merosotnya kualitas penddidikan ditandai dengan tidak adanya atau rendahnya perlengkapan yang berkaualitas, adanya ukuran-ukuran mutu yang rendah dan adanya kandidat yang berkualifikasi dan/atau bermotivasi rendah yang terpilih (atau membeli posisi) untuk guru dan jabatan laiinya (Kesuma. Et. al 2009:33). Hal ini jelas berdampak, pengisian jabatan baik guru dan kepala sekolah yang dilakukan dengan proses korup akan menempatkan para koruptor baru dalam jabatan guru dan kepala sekolah.
Ketika jabatan guru dan kepala sekolah sudah disisi dengan orang-orang berjiwa korup maka kualitas pendidikan akan jauh panggang dari api, karena orientasi mereka bukan lagi meningkatkan kualitas pendidikan tapi bagaiman dengan berbagai cara mengumpulkan materi utuk pribadi mereka. Sehingga mereka akan mengadakan program-program fiktif dan/ atau program-program tidak mendasar atau mengada-ada yang tidak berdampak sama sekali untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Akan muncul para pembuat proyek fiktif, pungutan liar dan sebagainya yang penting dapat mengembalikan modal dan mendapatkan keuntungan yang terlah mereka tanam ketika mereka membeli jabatan tersebut.  Kualitas pendidikan akan semakin rapuh ketika dalam bidang pendidikan tumbuh subur tindak pidana  korupsi. Pendidikan Indonesia bukan merupakan pendidikan yang sekuler, yang memisahkan agama dalam mebentuk warga negara yang baik. Tindak Pidana korupsi dalam bidang pendidikan menjadikan peserta didik kehilangan teladan bahkan kepercayaan terhdap sekolah dalam mebentuk mereka. Sehingga muncul generasi yang memiliki akhlak yag sejalan dengan pejabat dibidang pendidikan. Benar juga pepatah yang mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” ketika jiwa korup sudah meuncul dari pejabat-pejabat dalam bidang pendidikan bahkan termasuk kepala sekolah dan guru. Maka siswa juga akan muncul jiwa korup karena mendapatkan teladan langusng dari kepala sekolah dan guru. Pendidikan Anti Kourpsi harus didasari keimanan terhadap Tuhan YME, warga negara yang cerdas, beriman dan bertakwa merupakan modal utama dari jiwa anti korupsi. Oleh karena itu, sekolah harus menjadi lingkungan yang anti korupsi sehingga tidak terjadi pendekatan formaslistik dalam pendidikan Anti korupsi tetapi pendekatan pembudayaan anti korupsi

C.      Dampak Korupsi terhadap Kehidupan Sosial dan Kemiskinan
Ada beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin akibat korupsi, diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin) cenderung menerima pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih mudah ketika melayani para pejabat dan konglemerat dengan harapan akan memiliki gengsi sendiri dan imbalam materi tentunya, peristiwa seperti ini masih sering kita temui ditengah–tengah masyarakat. Kedua,Investasi dalam prasarana cenderung mengabaikan proyek–proyek yang menolong kaum miskin, yang sering terjadi biasanya para penguasa akan membangun prasarana yang mercusuar namun minim manfaatnya untuk masyarakat, atau kalau toh ada biasanya momen menjelang kampanye dengan niat mendapatkan simpatik dan dukungan dari masyarakat. Ketiga, orang yang miskin dapat terkena pajak yang regresif, hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki wawasan dan pengetahuan tentang soal pajak sehingga gampang dikelabuhi oleh oknum. Keempat, kaum miskin akan menghadapi kesulitan dalam menjual hasil pertanian karena terhambat dengan tingginya biaya baik yang legal maupun yang tidak legal, sudah menjadi rahasia umum ketika seseorang harus berurusan dengan instansi pemerintah maka dia menyediakan uang, hal ini dilakukan agar proses dokumentasi tidak menjadi berbelit–belit bahkan ada sebuah pepatah “kalau bias dipersulit kenapa dipermudah”.
Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan masyarakat miskin di desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk mencukupkan anggaran pembangunan, pemerintah pusat menaikkan pendapatan negara, salah satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM tersebut  harga-harga kebutuhan pokok seperti beras semakin tinggi biaya pendidikan semakin mahal, dan pengangguran bertambah. Tanpa disadari, masyarakat miskin telah menyetor 2 kali kepada para koruptor. Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya kepada negara lewat pajak dan retribusi, misalnya pajak tanah dan retribusi puskesmas. Namun oleh negara hak mereka tidak diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin” tersebut telah dikuras untuk kepentingan pejabat. Kedua, upaya menaikkan pendapatan negara melalui kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali “menyetor” negara untuk kepentingan para koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi rakyat miskin. Padahal seharusnya negara meminta kepada koruptor untuk mengembalikan uang rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya, malah menambah beban rakyat miskin. Partisipasi warga negara dalam pendidikan merupakan usaha agar mewujudkan warga negara yng terdidik. Semakin banyak partisipasi maka semakin banyak pula warga negara yang terdidik dan hal ini merupakan modal utama negara dalam pembangunan. Tetapi ketika sarana dan prasanara tidak tersedia yang diakibatkan dari tindak korupsi, maka akan menurunkan jumlah partispasi warga negara dalam pendidikan dan ini jelas menguarangi potensi warga neagra terdidik.


D.       Dampak Korupsi Teradap Birokrasi Pemerintahan
Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang paling rawan terhadap korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga negara. Oleh karena itu, Transparency International, lembaga internasional yang bergerak dalam upaya anti korupsi, secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.
Lebih jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik ini dalam dua jenis, yaitu korupsi administratif dan korupsi politik. Secara administratif, korupsi bisa dilakukan ‘sesuai dengan hukum’, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang ‘bertentangan dengan hukum’ yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan.
Pada kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam bentuk uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat. Sementara jenis korupsi yang kedua, muncul antara lain dalam bentuk ‘uang damai’ dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agar si pelanggar terhindar dari jerat hukum.
Sementara pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan, muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan bersenjata serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan oknum militer yang seringkali berlindung di balik institusi militer.
Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi:
Ø Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN.
Ø Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan.
Ø Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.
Ø Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semanagat profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu, sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal kepentingan nasional dan untuk mengadakan pembangunan ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih menjadi pengawal bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil, perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan terjadi pula dikotomi, tidak saja antara masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara perwira yang profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang berorientasi komersial.

E.       Dampak Korupsi terhadap Birokrasi dan Pemerintahan
Ada beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin akibat korupsi, diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin) cenderung menerima pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih mudah ketika melayani para pejabat dan konglemerat dengan harapan akan memiliki gengsi sendiri dan imbalam materi tentunya, peristiwa seperti ini masih sering kita temui ditengah–tengah masyarakat. Kedua,Investasi dalam prasarana cenderung mengabaikan proyek–proyek yang menolong kaum miskin, yang sering terjadi biasanya para penguasa akan membangun prasarana yang mercusuar namun minim manfaatnya untuk masyarakat, atau kalau toh ada biasanya momen menjelang kampanye dengan niat mendapatkan simpatik dan dukungan dari masyarakat. Ketiga, orang yang miskin dapat terkena pajak yang regresif, hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki wawasan dan pengetahuan tentang soal pajak sehingga gampang dikelabuhi oleh oknum. Keempat, kaum miskin akan menghadapi kesulitan dalam menjual hasil pertanian karena terhambat dengan tingginya biaya baik yang legal maupun yang tidak legal, sudah menjadi rahasia umum ketika seseorang harus berurusan dengan instansi pemerintah maka dia menyediakan uang, hal ini dilakukan agar proses dokumentasi tidak menjadi berbelit–belit bahkan ada sebuah pepatah “kalau bias dipersulit kenapa dipermudah”.
Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan masyarakat miskin di desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk mencukupkan anggaran pembangunan, pemerintah pusat menaikkan pendapatan negara, salah satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM tersebut  harga-harga kebutuhan pokok seperti beras semakin tinggi biaya pendidikan semakin mahal, dan pengangguran bertambah. Tanpa disadari, masyarakat miskin telah menyetor 2 kali kepada para koruptor. Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya kepada negara lewat pajak dan retribusi, misalnya pajak tanah dan retribusi puskesmas. Namun oleh negara hak mereka tidak diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin” tersebut telah dikuras untuk kepentingan pejabat. Kedua, upaya menaikkan pendapatan negara melalui kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali “menyetor” negara untuk kepentingan para koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi rakyat miskin. Padahal seharusnya negara meminta kepada koruptor untuk mengembalikan uang rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya, malah menambah beban rakyat miskin.
F.       Dampak Korupsi Teradap Birokrasi Pemerintahan
Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang paling rawan terhadap korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga negara. Oleh karena itu, Transparency International, lembaga internasional yang bergerak dalam upaya anti korupsi, secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.
Lebih jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik ini dalam dua jenis, yaitu korupsi administratif dan korupsi politik. Secara administratif, korupsi bisa dilakukan ‘sesuai dengan hukum’, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang ‘bertentangan dengan hukum’ yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan.
Pada kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam bentuk uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat. Sementara jenis korupsi yang kedua, muncul antara lain dalam bentuk ‘uang damai’ dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agar si pelanggar terhindar dari jerat hukum.
Sementara pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan, muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan bersenjata serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan oknum militer yang seringkali berlindung di balik institusi militer.
Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi:
Ø Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN.
Ø Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan.
Ø Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.
Ø Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semanagat profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu, sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal kepentingan nasional dan untuk mengadakan pembangunan ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih menjadi pengawal bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil, perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan terjadi pula dikotomi, tidak saja antara masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara perwira yang profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang berorientasi komersial.

G.      Dampak Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi
Dalam data Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional 2012, India menempati peringkat ke-94 dengan skor 36, di bawah Thailand, Maroko, dan Zambia. Meskipun India adalah negara demokrasi, korupsi tetap jadi penyakit yang terus melanda. Sebaliknya, di Singapura, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih telah menjadi praktik yang lama berlangsung. Padahal, Singapura bukanlah tergolong negara demokrasi. Skor indeks persepsi korupsi Singapura adalah 87, menempati peringkat ke-5, di atas Swiss, Kanada, dan Belanda. Dalam kasus India dan Singapura, demokrasi tak tampak berkorelasi dengan berkurangnya korupsi.
Di negara-negara demokrasi baru, demokrasi juga seperti tak berpengaruh terhadap pengurangan korupsi. Sebagai contoh, Indonesia telah menjadi negara demokrasi sejak tahun 1998. Menurut Freedom House, lembaga pemeringkat demokrasi dunia, Indonesia sudah tergolong negara bebas sepenuhnya (demokrasi) sejak 2004. Namun, Indeks Persepsi Korupsi 2012 menempatkan Indonesia di peringkat ke-118 dengan skor 32. Artinya, masyarakat merasakan bahwa korupsi masih merajalela di negeri ini.
Mengapa di sejumlah negara, terutama negara-negara demokrasi baru, demokrasi tampak tidak menihilkan korupsi? Jawabannya terkait dengan kualitas demokrasi di suatu negara.
Ada dua aspek penting yang terkait dengan demokrasi: prosedur dan substansi. Negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia umumnya masih tergolong ke dalam demokrasi prosedural. Yang sudah berjalan adalah aspek-aspek yang terkait dengan pemilihan umum. Hal ini tidak cukup menjamin berlangsungnya demokrasi yang dapat meminimalkan korupsi. Para aktor yang korup dalam demokrasi prosedural dapat memanipulasi pemilihan umum yang justru membuat mereka menjadi pemegang tampuk kekuasaan.
ampai saat ini, ada lebih dari 325 Kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi, baik masih menjadi tersangka maupun sudah menjadi terpidana. Masalah utamanya adalah undang-undang mengenai keuangan daerah itu sendiri. Dalam hal ini, saya mencatat kekuasaan seorang kepala daerah terhadap keuangan daerah yang begitu besarlah yang menjadi daya tarik seseorang ingin menjadi kepala daerah.
Tercatat, sejumlah anggota dewan, mantan menteri, hingga mantan Ketua MPR berlomba-lomba ingin menjadi kepala daerah. Keuangan Daerah menjadi rawan penyalahgunaan oleh Kepala Daerah seperti sebuah putusan MK atas kasus sengketa pilkada Sumatera Selatan yang lalu.
Dalam putusan yang mengabulkan sebagian tuntutan Herman Deru itu, Alex Noerdin dinyatakan telah menyalahgunakan dana bansos (57) untuk kepentingan kampanye sehingga pilkada harus diulang di beberapa kabupaten.
Akun 57 ini memang menjadi dana paling politis terutama di daerah. Nah, anehnya, meski sudah menjadi putusan MK yang final dan mengikat, penyalahgunaan penyaluran dana itu tidak cukup menjadi dasar pidana bagi Alex Noerdin yang sampai kini masih menjabat sebagai Gubernur Sumatra Selatan.
Upaya untuk mencegah pola korupsi Orba itu pun makin keteteran mana kala pola relasi bisnis dan politik pun terjadi di masa reformasi. Bahkan, pola korupsi di masa reformasi bisa dikatakan lebih parah karena dimulai dari hulunya, yakni dari informasi anggaran dimulai.
Isunya, informasi akan adanya proyek A atau proyek B pada tahun anggaran berikutnya sudah dijual ke rekanan agar ketika lelang dilakukan, rekanan A atau rekanan B akan mendapatkannya karena memanfaatkan informasi tersebut.
Istilah korupsi politik dalam awal tulisan ini pun akhirnya menjadi politik korupsi. Politik korupsi menjadi wacana aktual Indonesia dengan menempatkan kerja politik tidak bisa dilepaskan dari langkah-langkah korupsi untuk mengeruk uang rakyat.
Politik yang seharusnya sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahtaraan rakyat dan sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi, malah dibuat sebagai sarana untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab tanpa memikirkan masyarakat kecil.
Disimpulkan, dampak-dampak korupsi pada sistem politik di Indonesia adalah:
1. Menguatnya Plutokrasi
Korupsi yang sudah menyandera pemerintahan pada akhirnya akan menghasilkan konsekuensi menguatnya plutokrasi (sistem politik yang dikuasai oleh pemilik modal/kapitalis) karena sebagian orang atau perusahaan besar melakukan ‘transaksi’ dengan pemerintah, sehingga pada suatu saat merekalah yang mengendalikan dan menjadi penguasa di negeri ini.
Perusahaan-perusahaan besar ternyata juga ada hubungannya dengan partai-partai yang ada di kancah perpolitikan negeri ini, bahkan beberapa pengusaha besar menjadi ketua sebuah partai politik. Tak urung antara kepentingan partai dengan kepentingan perusahaan menjadi sangat ambigu.
Perusahaan-perusahaan tersebut menguasai berbagai hajat hidup orang banyak, seperti bahan bakar dan energi, bahan makanan dasar dan olahan, transportasi, perumahan, keuangan dan perbankan, bahkan media massa pada saat ini setiap stasiun televisi dikuasai oleh oligarki tersebut. Kondisi ini membuat informasi yang disebarluaskan selalu mempunyai tendensi politik tertentu dan ini bisa memecah belah rakyat karena begitu biasnya informasi.
2. Biaya Politik yang Tinggi
Lingkaran setan ini akan terus berjalan dan berdampak pada kian meningkatnya biaya politik. Demokratisasi yang dijankan tanpa adanya pendidikan politik yang baik dari pemerintah kepada masyarakat atau pun dari para pelaku politik praktis akan menghasilkan penyelenggaraan demokrasi yang money politics. Suara-suara dapat diperjualbelikan dan suara-suara itu makin lama makin mahal.
3. Munculnya Pemimpin yang Korup
Adalah hukum rimba yang mengatakan masukan sebanding dengan keluaran. Kondisi politik yang carut marut dan cenderung sangat koruptif menghasilkan masyarakat yang tidak demokratis. Perilaku koruptif dan tindak korupsi dilakukan dari tingkat yang paling bawah sampai dengan pucuk pimpinan.
Konstituen didapatkan dan berjalan karena adanya suap yang diberikan oleh calon-calon pemimpin partai, bukan karena simpati atau percaya terhadap kemampuan dan kepemimpinannya. Hubungan transaksional sudah berjalan dari hulu yang pada akhirnya pun memunculkan pemimpin yang korup juga karena proses yang dilakukan bersifat transaksional.
Masyarakat juga seolah-olah digiring untuk memilih pemimpin yang korup dan diberikan mimpi-mimpi dan janji akan kesejahteraan yang menjadi dambaan rakyat sekaligus menerima suap dari calon pemimpin tersebut.
4. Fungsi Pemerintahan Mandul
Korupsi telah mengikis banyak kemampuan pemerintah untuk melakukan fungsi yang seharusnya. Dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi pemerintahan, sebagai pengampu kebijakan negara, dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Korupsi menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi anggaran
  • Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan aset
  • Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik.
5. Hilangnya Kepercayaan Masyarakat kepada Lembaga Negara
Korupsi yang terjadi pada lembaga-lembaga negara seperti yang terjadi di Indonesia dan marak diberitakan di berbagai media massa mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut hilang. Akhir-akhir ini masyarakat kita banyak menerima informasi melalui berbagai media tentang bobroknya penegakan hukum di Indonesia. Mulai kasus Gayus Tambunan sampai perang kepentingan di Kepolisian RI dalam menindak praktik mafia hukum.
Berita yang paling akhir adalah kasus korupsi besar-besaran pembangunan wisma atlet di Palembang dan kasus Hambalang yang melibatkan pejabat pemerintahan dan para petinggi partai politik yang berkuasa yang pada akhirnya terkait dengan kinerja pemerintahan yang sedang berjalan. Kondisi yang memprihatinkan ini ditengarai juga melibatkan berbagai mafia, seperti mafia hukum dan mafia anggaran.
Sungguh situasi yang paradoks, padahal seharusnya suatu sistem hukum diciptakan oleh otoritas pemerintah atas dasar kepercayaan masyarakat, dengan harapan bahwa melalui kedaulatan pemerintah (government sovereignty), hak-hak mereka dapat dilindungi. Dengan demikian, pemerintah menciptakan keteraturan dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. Sudah menjadi tugas dari lembaga-lembaga tersebut untuk melaksanakannya, bukan sebaliknya.
6. Hilangnya Kepercayaan Publik pada Demokrasi
Demokrasi yang diterapkan di Indonesia sedang menghadapi cobaan berat yakni berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya tindak korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh petinggi pemerintah, legislatif atau petinggi partai politik. Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya bahkan hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.
Masyarakat akan semakin apatis dengan apa yang dilakukan dan diputuskan oleh pemerintah. Apatisme yang terjadi ini seakan memisahkan antara masyarakat dan pemerintah yang akan terkesan berjalan sendiri-sendiri. Hal ini benar-benar harus diatasi dengan kepemimpinan yang baik, jujur, bersih dan adil. Sistem demokrasi yang dijalankan Indonesia masih sangat muda, walaupun kelihatannya stabil namun menyimpan berbagai kerentanan.
Tersebarnya kekuasaan di tangan banyak orang ternyata telah dijadikan peluang bagi merajalelanya penyuapan. Reformasi yang dilakukan tanpa landasan hukum yang kuat justru melibatkan pembukaan sejumlah lokus ekonomi bagi penyuapan, yang dalam praktiknya melibatkan para broker bahkan menumbuhkan mafia.
7. Hancurnya Kedaulatan Rakyat
Dengan semakin jelasnya plutokrasi yang terjadi, kekayaan negara ini hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu bukan oleh rakyat yang seharusnya. Perusahaan besar mengendalikan politik dan sebaliknya juga politik digunakan untuk keuntungan perusahaan besar. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Namun wakil rakyat yang terbentuk dari sistem politik yang rusak dapat menghasilkan interpretasi yang berbeda atas kedaulatan tersebut.
Sebagai contoh, pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bumi, air, dan kekayaan alam dikelola oleh negara dan digunakan semestinya untuk kepentingan rakyat membuat asumsi kata dikelola berarti hal tersebut boleh diswastanisasi asal negara mendapat royaltinya. Sehingga dalam hal air mineral saja, rakyat harus membelinya dari swasta padahal air adalah barang publik yang semestinya lebih bisa dikelola dengan bijak oleh pemerintah.

H.      Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum
Sejak lahirnya UU No. 24/PrP/1960 berlaku sampai 1971, setelah diungkapkannya Undang-undang pengganti yakni UU No. 3 pada tanggal 29 Maret 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Baik pada waktu berlakunya kedua undang-undang tersebut dinilai tidak mampu berbuat banyak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena undang-undang yang dibuat dianggap tidak sempurna yaitu sesuai dengan perkembangan zaman, padahal undang-undang seharusnya dibuat dengan tingkat prediktibilitas yang tinggi. Namun pada saat membuat peraturan perundang-undangan ditingkat legislatif terjadi sebuah tindak pidana korupsi baik dari segi waktu maupun keuangan. Dimana legislatif hanya memakan gaji semu yang diperoleh mereka ketika melakukan rapat. Sehingga apa yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan itu hanya melindungi kaum pejabat saja dan mengabaikan masyarakat.
Menyikapi hal seperti itu pada tahun 1999 dinyatakan undang-undang yang dianggap lebih baik, yaitu UU No.31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1971. kemudian pada tanggal 27 Desember telah dikeluarkan UU No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu sebuah lembaga negara independen yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal ini berarti dengan dikeluarkannya undang-undang dianggap lebih sempurna, maka diharapkan aparat penegak hukum dapat menegakkan atau menjalankan hukum tersebut dengan sempurna. Akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya adalah budaya suap telah menggerogoti kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan penegakkan hukum sebagai pelaksanaan produk hukum di Indonesia. Secara tegas terjadi ketidaksesuaian antara undang-undang yang dibuat dengan aparat penegak hukum, hal ini dikarenakan sebagai kekuatan politik yang melindungi pejabat-pejabat negara. Sejak dikeluarkannya undang-undang tahun 1960, gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara terlalu turut campur dalam pemberantasan urusan penegakkan hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya peradilan. Dengan hal yang demikian berarti penegakan hukum tindak pidana di Indonesia telah terjadi feodalisme hukum secara sistematis oleh pejabat-pejabat negara. Sampai sekarang ini banyak penegak hukum dibuat tidak berdaya untuk mengadili pejabat tinggi yang melakukan korupsi. Dalam domen logos, pejabat tinggi yang korup mendapat dan menikmati privilege karena mendapat perlakuan yang istimewa, dan pada domen teknologos, hukum pidana korupsi tidak diterapkan adanya pretrial sehingga banyak koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti.

I.         Dampak Korupsi terhadap Kerusakan Lingkungan
Kebanyakan manusia menempatkan lingkungan hidup hanya sebagai bahan eksploitasi untuk tujuan jangka pendek. Kondisi ini tentu sangat medesak untuk segera dikendalikan. Perlu diadakan suatu sistem yang konkrit untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Jika tidak, kerusakan lingkungan hidup sudah pasti akan menjadi ancaman besar bagi peradaban masyarakat dunia. Paradigma yang menempatkan lingkungan sebagai obyek eksploitasi telah membawa kerusakan lingkungan fatal yang berujung kepada berbagai bencana alam yang sangat merugikan. Hal ini pun dikuatkan oleh Emil Salim yang menyimpulkan bahwa ada lima tantangan besar yang harus dihadapi gerakan penyelamatan lingkungan hidup, diantaranya : pertama adalah penyelematan air dari eksploitasi secara berlebihan dan pecemaran yang kian meningkat, baik air tanah, sungai, danau, rawa, maupun air laut. Kedua, merosotnya kualitas tanah dan hutan akibat tekanan penduduk dan eksploitasi besar-besaran untuk keperluan pembangunan. Ketiga, menciutnya keanekaan hayati akibat rusaknya habitat lingkungan berbagai tumbuh-tumbuhan dan hewan. Keempat, perubahan iklim, dan yang terakhir adalah meningkatnya jumlah kota-kota berpenduduk banyak.
Melihat kerusakan lingkungan hutan yang begitu parah seharusnya sudah membuat negara ini menindak dengan keras terhadap pelaku-pelaku kejahatan kerusakan lingkungan, terutama yang disertai praktik KKN. Dalam praktik KKN di ranah lingkungan hidup yang patut diwaspadai adalah para pelaku perusak lingkungan yang datang dari kalangan pemodal besar seperti perusahaan-perusahaan besar yang terlibat di sektor kehutanan maupun pertambangan. Hal ini ditegaskan oleh mantan wakil ketua KPK Chandra Hamzah dalam sebuah worksop investigasi kasus lingkungan di Jakarta, dimana menurutnya, perusahaan-perusahaan yang melakukan kerusakan terhadap alam umumnya sulit ditindak karena mereka mengantongi izin usaha yang cukup. Karena itu menurutnya, yang perlu diwaspadai adalah proses kontrol administrasi dalam pemberian izin sebelum perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi. Baik itu izin usaha baik dari pemerintah daerah maupun dari pemerintah pusat. Lalu menurut beliau, perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak di bidang kehutanan namun pada RKAT tahun berikutnya tercatat memiliki jumlah keuntungan yang sangat besar, maka patut dicurigai perusahan tersebut mendapatkan hasil bukan dari pohon-pohon yang mereka tanam melainkan dari hutan-hutan alam yang seharusnya tidak boleh ditebang.
Permasalahan yang terjadi, masyarakat kita kurang peduli akan kerugian ekologis ini, seringkali pelaku-pelaku usaha yang menyebabkan kerusakan lingkungan hanya terfokus mengenai ganti rugi terhadap penduduk setempat.  Memang benar ganti rugi itu perlu bahkan itu kewajiban mereka, namun ganti kerugian oleh para pelaku usaha jangan hanya sebatas ganti rugi materi kepada manusia, namun juga kepada alam. Alam yang rusak tidak bisa diperbaiki hanya dengan semalam perlu waktu berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin saja kerusakan tersebut tidak akan bisa diperbaiki.
Korupsi sepertinya sudah membudaya dalam kehidupan bangsa Indonesia, perbuatan-perbuatan yang kita anggap biasa seperti memberikan sesuatu kepada orang yang kita hormati dapat digolongkan tindak korupsi. Ketika telah menjadi budaya maka pemberantasan korupsi juga harus terstruktur dalam pendidikan, karena pendidikan merupakan saluran dari  proses pembudayaan warga negara. tetapi ketika bidang pendidikan terjadi tindakan-tindakan korup maka proses pembudayaan masyarakat anti korupsi seperti menanam benih di padang pasir yang tandus.
















BAB III
PENUTUP

A.                Simpulan
Korupsi mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam bentuk peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika kebijakan dilakukan dalam pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan dan kebijakan, misalnya, pada perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan sebagainya, malah akan mendorong terjadinya inefisiensi.
Kualitas pendidikan menjadi hal pertama yang diserang oleh tindak kourpsi dalam bidang pendidikan. Merosotnya kualitas penddidikan ditandai dengan tidak adanya atau rendahnya perlengkapan yang berkaualitas, adanya ukuran-ukuran mutu yang rendah dan adanya kandidat yang berkualifikasi dan/atau bermotivasi rendah yang terpilih (atau membeli posisi) untuk guru dan jabatan laiinya. Ada beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin akibat korupsi, diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin) cenderung menerima pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih mudah ketika melayani para pejabat dan konglemerat dengan harapan akan memiliki gengsi sendiri dan imbalam materi tentunya, peristiwa seperti ini masih sering kita temui ditengah–tengah masyarakat.
Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang paling rawan terhadap korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga negara. Oleh karena itu, Transparency International, lembaga internasional yang bergerak dalam upaya anti korupsi, secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.

Kebanyakan manusia menempatkan lingkungan hidup hanya sebagai bahan eksploitasi untuk tujuan jangka pendek. Kondisi ini tentu sangat medesak untuk segera dikendalikan. Perlu diadakan suatu sistem yang konkrit untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Jika tidak, kerusakan lingkungan hidup sudah pasti akan menjadi ancaman besar bagi peradaban masyarakat dunia. Paradigma yang menempatkan lingkungan sebagai obyek eksploitasi telah membawa kerusakan lingkungan fatal yang berujung kepada berbagai bencana alam yang sangat merugikan.

B.                 Saran
Korupsi merupakan kegiatan yang merugikan banyak orang terutama warga negara. Selain itu kuropsi juga memiliki dampak yang sangat banyak yang juga berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Oleh karena itu kita sebagai mahasiswa yang terdidik sedini mungkin untuk bisa mencegah semua bentuk perbuatan korupsi baik itu dalam bentuk kecil mapun yang sudah besar. Dengan berupaya mencegah tindakan korupsi itu berarti kita sudah memperbaiki bangsa ini menjadi lebih baik. Sebagai mahasiswa kita harus bisa memerangi korupsi yang banyak merugikan banyak pihak.













DAFTAR PUSTAKA





No comments:

Post a Comment

zona baca

Bahan Ajar Kelas 1 Tema 4 Keluargaku 3 keluarga besarku pembelajaran 4

BAHAN AJAR Tema                 : 4 Keluargaku Subtema            : 3 Keluarga Besarku Pembelajaran    : 4 Tujuan Pembelajaran Dengan ...