Perkembangan
BAHASA ANAK
Pengetahuan tentang hakikat
perkembangan bahasa anak dan tahap-tahap perkembangan bahasa anak sangat
penting bagi pelaksanaan pembelajaran bahasa anak. Itulah sebabnya guru SD
perlu menguasai berbagai konsep yang terkait dengan perkembangan bahasa anak.
1. Hakikat Perkembangan Bahasa Anak
Darjowidjojo (Tarigan dkk., 1998)
mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa anak itu tidaklah tiba-tiba atau
sekaligus, tetapi bertahap. Kemajuan kemampuan berbahasa mereka berjalan
seiring dengan perkembangan fisik, mental, intelektual, dan sosialnya. Oleh
karena itu, perkembangan bahasa anak ditandai oleh keseimbangan dinamis atau suatu
rangkaian kesatuan yang bergerak dari bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana
menuju tuturan yang lebih kompleks. Tangisan, bunyi-bunyi atau ucapan yang
sederhana tak bermakna, dan celotehan bayi merupakan jembatan yang mefasilitasi
alur perkembangan bahasa anak menuju kemampuan berbahasa yang lebih sempurna.
Bagi anak, celoteh merupakan semacam latihan untuk menguasai gerak
artikulatoris (alat ucap) yang lama kelamaan dikaitkan dengan kebermaknaan
bentuk bunyi yang diujarkannya.
2. Tahap-tahap Perkembangan Bahasa Anak
1. Tahap Pralingustik (0 – 12 bulan)
Sebelum mampu
mengucapkan suatu kata, bayi mulai memperoleh bahasa ketika berumur kurang dari
satu tahun. Namun pada tahap ini, bunyibunyi bahasa yang dihasilkan anak
belumlah bermakna. Bunyi-bunyi itu berupa vokal atau konsonan tertentu tetapi
tidak mengacu pada kata atau makna tertentu. Untuk itulah sehingga perkembangan
bahasa anak pada masa ini disebut tahap pralinguistik (Tarigan, 1988; Tarigan
dkk., 1998; Ellies dkk.,1989). Bahkan pada awalnya, bayi hanya mampu mengeluarkan
suara yaitu tangisan. Pada umumnya orang mengatakan bahwa bila bayi yang baru
lahir menangis, menandakan bahwa bayi tersebut merasa lapar, takut, atau bosan.
Sebenarnya tidak hanya itu saja terjadi. Para peneliti perkembangan mengatakan
bahwa lingkungan memberikan mereka halangan tentang apa yang dirasakan oleh
bayi, bahkan tangisan itu sudah mempunyai nilai komunikatif.
Bayi yang
berusia 4 – 7 bulan biasanya sudah mulai mengahasilkan banyak suara baru yang
menyebabkan masa ini disebut masa ekspansi
(Dworetzky, 1990). Suara-suara baru itu meliputi: bisikan, menggeram, dan
memekik. Setelah memasuki usia 7 – 12 bulan, ocehan bayi meningkat pesat.
Sebagian bayi mulai mengucapkan suku kata dan menggandakan rangkaian kata
seperti “dadada” atau “mamama”. Ini dekanal dengan masa connical.
2. Tahap Satu-Kata (12 – 18 bulan)
Pada masa ini,
anak sudah mulai belajar menggunakan satu kata yang memiliki arti yang mewakili
keseluruhan idenya. Satu-kata mewakili satu atau bahkan lebih frase atau
kalimat. Contoh:
Ujaran anak
|
Maksud
|
-
“Juju!”
(sambil memegang baju)
-
“Gi!”
(sambil menunjuk keluar)
-
“Bum-bum” (sambil menunjuk
motor
|
-
Mau memakai baju atau Ini baju saya
-
Mau pergi atau keluar
-
Itu motor atau saya mau naik motor
|
Kata-kata
pertama yang lazim diucapkan berhubungan dengan objekobjek nyata atau
perbuatan. Kata-kata yang sering diucapkan orang tua sewaktu mengajak bayinya
berbicara berpotensi lebih besar menjadi kata pertama yang diucapkan si bayi.
Selain itu, kata tersebut mudah bagi dia. Misalnya kata “papa” itu kan konsonan bilabial yang mudah diucapkan. Selain itu,
kata-kata tersebut mengandung fonem “a” yang secara artikulasi juga mudah diucapkan
(tinggal membuka mulut saja).
Memahami
makna kata yang diucapkan anak pada masa ini tidaklah mudah. Untuk menafsirkan maksud tuturan anak harus
diperhatikan aktivitas anak itu dan unsur-unsur non-linguistik lainnya seperti
gerak isyarat, ekspresi, dan benda yang ditunjuk si anak. Mengapa begitu?
Menurut Tarigan dkk, (1998) ada dua penyebab, yaitu sebagai berikut.
Pertama, bahasa anak masih terbatas
sehingga belum memungkinkan mengekspresikan ide atau perasaannya secara
lengkap. Keterbatasan berbahasanya diganti dengan ekspresi muka, gerak tubuh,
atau unsur-unsur nonverbal lainnya.
Kedua, apa yang diucapkan anak adalah
sesuatu yang paling menarik perhatiannya saja. Sehingga, tampa mengerti konteks
ucapan anak, kita akan kesulitan untuk memahami maksud tuturannya.
Walaupun
memahami makna kata yang diucapkan anak pada masa ini tidaklah mudah, tetapi
komunikasi aktif dengan si anak sangat penting dilakukan. Untuk dapat
berbicara, anak perlu mengetahui perbendaharaan kata yang akan disimpan di
otaknya dan ini bisa didapat ketika orang tua mengajak bicara. Kalau anak jaran
diajak berbicara, kata-kata yang dia dapat sangat minim sehingga penguasaan
kosa kata anak juga sangat minim. Selain itu, yang perlu diperhatikan dalam
menghadapi anak yang memasuki usia ini adalah “jangan memakai bahasa bayi untuk
anak-anak, melainkan dengan orang
dewasa.” Maksudnya, ucapkanlah dengan bahasa yang seharusnya didengar sehingga
si anak juga terpacu untuk berkomunikasi dengan baik.
3. Tahap dua-kata (18 – 24 bulan)
Pada masa ini,
kebanyakan anak sudah mulai mencapai tahap kombinasi dua kata. Kata-kata yang
diucapkan ketika masih tahap satu kata dikombinasikan dalam ucapan-ucapan
pendek tanpa kata penunjuk, kata depan, atau bentuk-bentuk lain yang
sseharusnya digunakan. Anak mulai dapat mengucapkan “Ma, pelgi”, maksudnya “Mama,
saya mau pergi”. Pada tahap dua kata ini anak mulai mengenal berbagai makna
kata tetapi belum dapat menggunakan bentuk bahasa yang menunjukkan jumlah,
jenis kelamin, dan waktu terjadinya peristiwa. Selain itu, anak belum dapat
menggunkan pronomina saya, aku, kamu, dia, mereka, dan sebaginya.
4. Tahap banyak-kata (3 – 5 tahun)
Pada saat anak
mencapai usia 3 tahun, anak semakin kaya dengan perbendaharaan kosakata. Mereka
sudah mulai mampu membuat kalimat pertanyaan, penyataan negatif, kalimat
majemuk, dan berbagai bentuk kalimat. Terkait dengan itu, Tompkins dan
Hoskisson dalam Tarigan dkk. (1998) menyatakan bahwa pada usia 3 – 4 tahun,
tuturan anak mulai lebih panjang dan tatabahasanya lebih teratur. Dia tidak
lagi menggunakan hanya dua kata, tetapi tiga atau lebih. Pada umur 5 – 6 tahun,
bahasa anak telah menyerupai bahasa orang dewasa. Sebagian besar aturan
gramatika telah dikuasainya dan pola bahasa serta panjang tuturannya semakin
bervariasi. Anak telah mampu menggunkan bahasa dalam berbagai cara untuk
berbagai keperluan, termasuk bercanda atau menghibur.
Selanjutnya,
tidak berbeda jauh dengan tahapan perkembangan bahasa anak seperti yang telah
diurakan, Piaget (dalam Nurhadi dan Roekhan, 1990) membagi tahap perkembangan
bahasa sebagai berikut.
(1) Tahap meraban (pralinguistik) pertama
pada usia 0,0 – 0,5 (2) Tahap meraban (pralinguistik) kedua:
kata nonsens, pada usia 0,5 – 1,0.
(3)
Tahap linguistik I: holofrastik, kalimat satu kata,
pada usia 1,0 – 2,0.
(4) Tahap
linguistik II: kalimat dua kata, pada usia 2,0 – 3,0.
(5)
Tahap linguistik III: pengembangan tata bahasa, pada
usia 3,0 – 4,0.
(6)
Tahap linguistik IV: tata bahasa pradewasa, pada usia
4,0 – 5,0.
(7)
Tahap lingistik V: kompetensi penuh, pada usia 5,0.
Selain tahapan
perkembangan bahasa anak seperti yang telah dipaparkan, Ross dan Roe (Zuchdi
dan Budiasih, 1997) membagi fase/tahap perkembangan bahasa anak seperti
berikut.
Perkiraan Umur
|
Tahap Perkembangan Bahasa
|
Kemampuan Anak
|
Lahir – 2 tahun
|
Fase Fonologis
|
Anak bermain dengan bunyi-bunyi bahasa mulai mengecoh
sampai menyebutkan kata-kata sederhana
|
2 – 7 tahun
|
Fase Sintaktik
|
Anak menunjukkan kesadaran gramatis; berbicara menggunakan
kalimat
|
7 – 11
tahun
|
Fase Semantik
|
Anak dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep yang
terkandung dalam kata
|